🌸Bab 18 - Jakarta🌸

127 39 35
                                    

--Pov Haidar--

"Assalamualaikum."

Aku mengucapkan salam begitu membuka pintu rawat inap itu entah yang keberapa kalinya dalam beberapa hari terakhir.

Menjumpai seorang pria terhebat dalam hidupku yang tengah terbaring lemah di atas brankar dan sedang menatap ke arahku dengan pandangan sendunya sekarang.

Ayah.

Ayah adalah satu-satunya alasan yang membuatku meninggalkan Jawa Timur--emm lebih tepatnya Rindu, dan kembali ke Jakarta tanpa berpamintan lebih dulu kepada wanita itu.

Meski berat, tapi Rindu dan Ayah adalah hidupku. Tentu saja aku harus meninggalkan Rindu, karena Ayah sangat membutuhkanku. Satu-satunya putra yang dia punyai di dunia ini.

Hari itu, saat aku ingin menemui Rindu di hari kedua untuk meyakinkannya tentang niat hatiku yang tulus, tiba-tiba saja rumah sakit menghubungiku dan memberitahu jika ayah masuk rumah sakit lagi karena serangan jantung.

Penyakit serangan jantung ayah memang sudah menjadi bawaan usia. Hanya saja, aku tidak tau apa yang menjadi penyebabnya kali ini. Hanya saja aku bersyukur, karena Allah masih memberiku kesempatan untuk berbakti kepada Ayah lebih lama.

"Bagaimana kondisi, Ayah?" tanyaku ketika duduk di kursi yang setia menemaniku setiap hari. Seperti Ayah ysng setia menemaniku dan merawatku sendiri ketika ibu memilih untuk pergi.

Pria berwajah tampan itu, tersenyum tipis. Wajahnya sudah tak sepucat saat pertama kali aku melihatnya terbaring di ranjang rumah sakit, dan hampir membuat detakan jantungku berhenti.

"Ayah sudah merasa lebih baik, Haidar. Sepertinya, Ayah bisa pulang hari ini," jawab pria itu sehingga membuatku pun tertawa pelan untuk mengejek sifatnya yang sok jagoan itu.

"Ayah bukan superhero yang tahan banting. Sudah seharusnya, Ayah beristirahat di sini sampai pulih," jawabku. Suasana di antara kami berdua memang selalu hangat seperti ini. Mungkin hal itulah yang membuatku begitu mengidolakannya dalam hidup sehingga bisa tidak bisa, aku harus meniru perilaku terpuji Ayah yang menjadi orang tua begitu luar biasa.

"Tapi Ayah mau menemanimu melamar, Rindu."

Perkataan Ayah kali ini, sukses membuat sudut bibirku mengendur. Ayah tidak tau saja, seperti apa kokohnya wanita itu.

"Apa Rindu menolakmu?" kali ini, ayah bertanya padaku. "hem ... dilihat dari raut wajahmu sekarang, aroma ditolak memang tercium begitu pekat." lanjutnya dan tentu saja membuatku meradang.

Ayah selalu bisa menebak apa yang terjadi pada anaknya.

Andai saja dirimu tau, Ayah. Anakmu yang tampan ini sedang patah hati. Rintihku dalam hati.

"Jika kamu menyerah, tidak apa-apa, Haidar. Ayah punya banyak calon untuk wanita se baik, Rindu."

"Ya Allah ... apa Ayah ingin membuatku seperti Romeo yang bunuh diri?" seruanku kali ini, sukses membuat tawa yang selama beberapa hari ini senyap, kembali aku dengar. Dan itu cukup keras.

"Jadi, sekarang ceritakan pada Ayah apa saja yang terjadi di sana."

Ada sedikit nada paksaan di sana, sehingga mau tidak mau aku pun harus bercerita. Mengungkapkan kegagalanku pada Ayah dalam menaklukan hati seorang wanita mulia. Ya, meskipun aku tau jika pria itu lagi-lagi akan mencibirku.

"Malam itu, rumah Rindu di gerebek warga, Yah. Mereka memfitnah Rindu sudah menggoda dan berzina dengan seorang pria. Akhirnya, aku pun maju. Aku mengatakan pada orang-orang itu, jika Rindu adalah calon istriku."

Senja Untuk Rindu (Tamat-Bab Masih Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang