M^ ||48 => Reana

23 2 1
                                    

Ajari aku cara membedakan mati rasa dan kuat mental😄

^

Happy Reading💛

________o0o________

"Mama berangkat ya. Bilang salam mama ke Rean kalo dia udah dateng."

Diana berpelukan dengan mamanya di tengah rasa tidak rela karena mama Diana akan pergi ke Jerman untuk menemui rekan lamanya yang sekarang tengah di ambang kebangkrutan. Walaupun mama Diana sering tidak di rumah, tapi keluarganya sangatlah harmonis tidak pernah ada konflik sekalipun.

Semua ketidaknyamanan dimulai ketika perjodohan Diana dan Rean direncanakan. Awalnya Diana tidak mengerti akan hal itu pada orang tuanya karena bukannya mendukung ia untuk terus belajar di usia yang dini, malah menyuruhnya untuk menikah. Tapi yang Diana harapkan adalah semoga keluarganya dapat melupakan hal itu sehingga ia lepas dari perjodohan.  Biarlah hubungannya dengan Rean kandas asalkan ia tidak terikat paksaan.

Hal yang selalu membuatnya lepas termenung adalah ketika mengingat wajah-wajah yang pernah ia lihat ketika Diana masih kecil. Seperti yang setiap orang inginkan, Diana tumbuh dengan kasih sayang keluarga dan orang lain yang mendukung dengan penuh. Tapi ia juga tidak bisa menyamakan dengan masa depannya.

Suara deruman motor sudah terdengar ke dalam rumah. Diana membuka gorden dan melihat lelaki trauble-nya sedang memarkirkan motor. Kakinya melangkah keluar dari rumah dan menghampiri Rean.

"Tante udah berangkat?"

"Baru aja mobil mama jalan. Tadi mama titip salam buat kamu"

"Nanti kita telpon aja."

Diana mengangguk "Masuk yuk! Kita sarapan"

Rean merangkul bahu Diana yang lebih rendah darinya. Bersama masuk ke dalam rumah lalu menuju pantry dan duduk di sana.  Diana mulai mengoleskan cokelat kacang ke roti yang akan dimakan Rean lalu meletakannya di atas piring dan mulai menyiapkan dua gelas susu hangat.

"Makasih"

"Untuk?"

"Kamu baik ke mama"

"Aku harap kamu gak berfikiran yang lain, aku cuman ngehargain tante aja."

Diana mengangguk, "Aku paham. Lanjutin sarapan."

Rean melihat raut wajah Diana yang berubah murung seperti menahan tangis. Dirinya memang tidak ingin bertahan di situasi seperti ini. Tapi di sisi lain ia juga tidak ingin memberi harapan yang pada akhirnya akan menyakiti Diana dan juga dirinya.

Cukup sedekat ini hubungannya dengan Diana. Rean tidak ingin lebih jauh lagi, atau ia akan terjebak dengan perasaannya sendiri. Bagaimana pun juga Diana bukanlah orang yang Rean kenal sedari lama.

"Diana?"

"Lupain,"

"Sory tapi emang gue-"

"Gak usah khawatir. Gue sama aja kaya lo, kita sama-sama gak mau kaya gini."

"Tapi, kita gak boleh ilangin hubungan temen,"

"Iya." Lain dengan batinnya yang bertolak belakang, 'Gue gak akan nyerah dalam waktu cepat!'

"Gue tau lo sebenernya baik, walau kata Diba lo itu barbar."

Cengiran terbit di wajah Diana. "Kalo gitu gue mandi dulu. Gue udah gak sabar ketemu Diba. Selama ini gue kaya di penjara tau gak?"

"Tenang lo akan bebas sama gue."

Diana beranjak ke kamarnya meninggalkan Rean yang masih asik menghabiskan roti. Sesungguhnya Diana sudah menghabiskan rotinya semenjak Rean memulai pembicaraan.  Nafsunya akan meningkat ketika hatinya merasakan sakit.

Skip <

Diana dan Rean sudah berada di dalam mobil menuju rumah Rean. Diana sudah tidak sabar bertemu dengan Diba. Walau mereka tidak dekat, tapi setidaknya dengan kehadiran Diba, Diana bisa melupakan apa yang telah ia dengar dari Rean.

"Gimanapun kita masih sekolah. Jadi gue harap lo gak lupa sama tujuan kita."

Nah! Baru saja Diana akan mampu menghapus percakapan mereka yang lebih awal. Namun Rean kembali menanamkan perkataan yang membuat batinnya berteriak. Sebenarnya bisa saja sekarang Diana menjambak rambut Rean atau membanting stir yang sedang diputar Rean. Bahkan biasanya lengan Diana itu reflek menganiaya orang yang tidak berprasaan. Agar mereka tahu bahwa Diana lebih tidak berprasaan.

Namun entah mengapa sejak mengenal Rean, gerak tubuhnya itu seakan menolak melakukan hal-hal yang menunjukkan jati dirinya sendiri.

"Lo khawatir gue takut kehilangan lo?"

Pikiran Rean kini berkelana. Ia bingung dengan apa yang akan ia lontarkan sebagai jawaban dari pertanyaan Diana padanya itu. Otaknya mengatakan bahwa ia memang seperti apa yang ditanyakan Diana. Tapi hatinya meminta untuk mulut Rean itu berbohong.

"Cih! Gue gak semelankolis itu!"

Diana melihat hidung Rean yang kembang kempis. Seakan teringat apa yang mamanya katakan ketika ia sedang berbohong. Hidungnya itu selalu menjadi sasaran dan pembongkar kebohongan Diana di depan mamanya. Maka sekarang pun Diana menangkap hal itu dari Rean.

Kemudian tanpa Diana sadari tiba-tiba saja air matanya jatuh membasahi pipi.

________o0o________

L

ama Diana menghabiskan waktu dengan Diba, sekarang ia tengah kembali di dalam mobil dengan Rean. Keduanya meninggalkan Diba di rumah sendirian. Awalnya Diana meminta Rean agar Diba ikut saja. Tapi katanya Rean sudah menjanjikan waktu Diba untuk Nathan. Walau mulanya Rean juga sangat tidak percaya pada Nathan.

Mereka berdua melintasi jalan yang masih dikenali. Kemudian mobil terhenti di parkiran sebuah rumah sakit jiwa! Pikiran Diana mulai berkelana jauh. Apakah mungkin Rean akan menyuruhnya untuk tinggal di sini hanya karena Rean melihat Diana yang terpuruk hari ini?

Mendadak wajahnya yang berseri itu jadi memucat. Giginya bergemertak karena merasa khawatir alan dirinya sendiri yang dihadapkan dengan rumah sakit jiwa.

Tangan Rean membuat Diana menghentikan segala pikiran buruknya sementara. Mereka sudah keliar dari mobil. Diana melihat seorang perawat menghampiri dengan wajah cemas.

"Apa terjadi sesuatu dengan Aneec?"

M^Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang