Hi. It's been a while.
Cerita ini mandek saat vaksin belum selesai dibuat sampai vaksin sudah mulai disuntikkan. Berapa bulan itu? Terakhir upload November.
Bab ini akan saya jadikan uji coba. Kalau masih rame banget kayak sebelumnya, yang buat saya indikatornya adalah rame nih yang komen. Lagian GA yang hadiahnya banyak untuk komentator paling rajin masih berlangsung kan untuk Moxie? Yang merasa pernah sign in nama buat ikut di awal, wajib banget ramein. Hue hue hue.
Oh iya, saya ada satu kaos merch Synesthesian Series warna putih yang akan saya hadiahkan untuk komentator terbaik di chapter ini. Akan saya umumkan pemenangnya di next chapter. Kriteria terbaik: banyak komen, komennya seru, interaktif sama setiap konteks, dan nggak menggunakan kata-kata kotor. ✅ Mau? Saya tandatangani kaosnya dan saya semprotin parfum aroma Juno biar seolah kalian sempat bertemu beneran. Ah saya pengin ngadain gathering on the spot tapi pandemi belum kelar2.
Oh iya, bab ini sebenarnya panjang. Tapi saya split jadi dua. Kenapa? Pertama, karena ini bab untuk cek ombak. Kedua, karena ini bab paling tidak bikin saya nyaman selama menuliskannya.
Ini tentang POV Sky. Saya pikir sebelum saya mulai meledak-ledak di POV Elliot, saya bakal kasih bahan plot twist yang bisa buat kepala kalian semakin muter-muter.
Siap ramein? Kalau rame saya bakal semangat banget buat maraton unggah.
Ayok, kita mulai.
Lagu yang bisa kamu putar sambil baca chapter ini: Happier Than Ever by Billie Eilish.
Bantu saya temukan typo. Belum saya sisir. Thanks in advance.
*****
Warning! Bab ini mungkin membuat kamu tidak nyaman. Mohon dibaca dengan bijak dan pikiran jernih.*****
Chapter 11 - Murder The Pervert[Sky]
Hari itu gue masih memikirkan gimana caranya untuk bisa melepaskan diri dari Mas Radit tanpa harus mengorbankan harga diri gue. Melihat foto-foto yang dikirim Mas Radit saja gue sudah bisa membayangkan bagaimana reaksi semua orang yang nanti akan melihatnya. Di dalam kepala gue sudah terbentuk bakal-bakal trauma yang bahkan belum benar-benar terjadi. Tapi ketika dalam ancaman sebesar itu, nggak ada pilihan lain kecuali maju satu langkah buat nurutin apa maunya Mas Radit.
"Gue mau, tapi gue nggak bisa kalau ini diketahui sama orang-orang. Dan gue mau karena untuk menghindari ancaman itu, bukan karena gue bener-bener mau sama Mas Radit," kata gue yang saat itu masih memakai seragam judo, di loker ruang ganti, cuma berdua sama manusia yang satu ini setelah ditodong.
Mas Radit tersenyum setelah satu minggu gue menghindarinya dan berakhir saat itu karena gue ditodong buat ngasih jawaban apakah gue mau jadi pacarnya atau nggak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moxie
Teen FictionNo need description. Just enjoy the story and trust the author.