06 - Tersangka

2.8K 856 8.2K
                                    

Halooo! Selamat petang!

Vote dulu. Hehehe.

Apa kabarnya nih? Semoga sehat selalu. Tetap pakai masker dan patuhi protokol kesehatan yang berlaku.

Btw, saya udah mulai ttd sama ngisi catatan di buku UYS nih. Banyak banget nggak tahu selesai kapan :( . Belum mah sekarang lagi meriyang. Yang baik hati pesenin gofud deh buat temen nyemil. Hahaha. Canda.

Oh iya, tadi siang saya baru aktivasi nomor WhatsApp baru khusus untuk pembaca yang ingin berkomunikasi atau sekadar menyapa. DM Instagram dan Wattpad udah nggak efektif. Terlalu banyak yang masuk dan saya males buka DM. Udah ada ratusan pesan yang masuk sejak saya rilis di instastory. Bakal saya coba balas satu-satu nanti. Ini bukan nomor pribadi. Hanya nomor alter yang akan saya pakai untuk setiap acara seminar. Yang pegang saya sendiri kok. Berikut nomornya, 08882223381. Boleh disave. Kalau nomor kamu pengin disave otomatis sama saya silakan say 'hi' ke nomor itu lalu sebutin nama kamu. Itu saja.

Back to the story, bagaimana bab kemarin? Hmm, saya harap nggak ada yang nebak terlalu jauh karena pasti akan terjedot di bab ini.

Kemarin harusnya tembus 7K dulu baru next chapter. Tapi karen saya iba, ya udah diunggah saja. Kalau gitu harganya saya turunin deh. Minimal 5K untuk bab ini biar lanjut next chapter. Deal?

Lagu untuk bab ini wajib diputar. Cuma musik instrumen yang cocok abis sama suasananya. Judulnya Funeral by Stephen Warbeck.

Bantu saya temukan typo. Selamat membaca.

***********
*****
Chapter 06

[Mia]

Interkom seluruh kelas menggaungkan kabar duka tentang kematian Sky persis ketika pelajaran sedang berlangsung. Saat itu juga aku yang duduk sendirian di baris paling belakang, sedang menyalin materi dari layar proyektor seketika melepaskan pulpen begitu saja dengan tangan gemetar. Padahal biasanya aku paling tidak peduli dengan informasi apa pun yang dikabarkan melalui interkom. Jantungku berdebar seperti nyaris meledak. Sky?

Seluruh pemilik telinga yang mendengar kabar itu tak ada satu pun yang tidak terkejut. Mereka saling tatap dan menutup mulut. Sebagian ada yang langsung menangis. Guru-guru yang sedang mengajar langsung mengusaikan sesi. Tidak ada yang tidak tahu nama Sky. Namun, sama juga tidak ada yang tahu apa yang dirahasiakan oleh Sky kecuali aku. Tapi, meninggal kenapa? Tapi Sky adalah salah satu orang paling bugar yang pernah aku tahu.

Tak lama kemudian sekolah dibubarkan. Tidak boleh ada aktivitas terlebih dahulu sebagai wujud berkabung. Banyak yang akhirnya memutuskan untuk pergi mengunjungi rumah Sky untuk melayat. Sementara itu, sejak kabar dari interkom terdengar, aku masih tertegun seolah sendi-sendiku terkunci. Aku bisa merasakan tenggorokanku mengering dan bibirku pun sama.

Tapi aku nggak bisa pulang bersama mereka. Atau mereka akan tahu di mana rumahku. Rumah yang bercat dominan hitam dan sedikit tambahan cat kuning di tiap lis jendela dan pintunya. Rumput di halaman yang belum pernah dipangkas lagi sejak ... entah kapan. Nisan dari kuburan binatang peliharaanku. Pohon akasia dan tabebuya yang rimbun mengapit rumah. Dan bercak-bercak kotoran burung entah kelelawar pada dinding luarnya. Tanaman rambat. Aku nggak bisa. Tapi aku benar-benar penasaran apa yang terjadi dengan Sky.

Aku mengusap genangan di mataku sebelum memutuskan untuk beranjak. Aku berjalan cepat dari kelas dengan kepala menunduk dan bersembunyi di balik hoodie hitam. Di luar ternyata lebih mengerikan, anak-anak banyak yang menangis sambil mengerubungi ponsel. Kemudian histeris seolah baru saja melihat setan.

Aku menarik ponselku dari saku. Ada yang membagi foto-foto di grup angkatan. Lalu disusul notifikasi beruntun dari grup yang sama. Please, jangan foto Sky. Aku mengeklik cepat-cepat.

MoxieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang