I Wish I Had A Hundred Years by Fernando Valazquez
***
{Sky}
"Benda-benda ini nggak akan menyentuh kulitmu kalau kamu menyerahkan koper itu, kata Igor soal garpu dan pisau yang melayang di sisi kepalanya. Igor saat itu masih cukup muda. Tapi kalian tak akan pernah berani menatap matanya yang mampu memerintah benda tajam untuk menusuk kalian dari jauh. Kristof, yang seumuran dengan saya saat itu, dia menyentuh punggung Igor untuk menurunkan benda-benda itu. Dan berdentinglah semua di lantai.
Karena saya sudah kepalang takut melihat ada orang yang bisa melakukan hal semacam itu, saya lupa sama uang yang akan saya dapatkan dan membiarkan Kristof mengambil koper itu dari tangan saya tanpa melawan. Saat menyadari saya memakai salah satu cincin itu, Kristof berkata, yang kamu pakai juga. Pria rupawan itu meminta tanpa disertai ancaman. Dia begitu hati-hati padahal sedang berbicara dengan seorang pencuri."
Pak Diwan menyeruput minumannya untuk menjeda. Lalu tatapannya jatuh ke lantai seolah sedang menyaksikan sebuah reka memori di sana.
"Saya mengulurkan tangan padanya dan membiarkan dia melepaskan cincin itu dari jari saya. Namun, saya yakin mereka berdua melihat dengan jelas bagaimana cincin berwarna hitam legam berukir bulan sabit itu merembas ke dalam ruas jari saya dan menghilang."
Yose berdiri dari tangga dan berjalan mendekat bergabung dengan kami di meja. Gue menahan banyak pertanyaan yang membendung di ujung lidah. Kristof? Ayahnya Mia? Apa yang sebenarnya pernah terjadi?
"Cincin itu memberi Anda kekuatan?" tanya Yose seolah ini adalah kesempatan bertanya yang ia nantikan selama ini.
"Igor menerbangkan satu pisau ke arah saya ketika melihat cincin itu menghilang. Tetapi anehnya, pisau itu terpental seperti yang saya harapkan bahkan sebelum menyentuh saya. Alih-alih, pisau itu menyasar ke subyek lain. Saat itu teman saya yang berdiri jauh di belakang saya terbunuh tanpa sengaja." Pak Diwan menjeda sesaat. "Saya ketakutan dan segera berlari ke arah pintu belakang. Namun ketika satu langkah nyaris menggapai pintu itu, tiba-tiba posisi pintu berubah. Saya mengejar pintu itu lagi, tetapi kembali berpindah posisi. Terus seperti itu, seolah saya sedang dalam permainan ilusi."
Pak Diwan mengangkat dagunya dan menatap gue. "Saya menoleh ke belakang, di mana Kristof sedang berdiri tenang sambil memegangi sebuah rubik berwarna hitam. Saya benar-benar tidak tahu bagaimana dia melakukannya, tetapi mata saya melihat jelas tangannya yang memainkan rubik itu saat jendela, dinding, meja, pintu, semuanya, berubah posisi."
"Ayahn Mia yang melakukan itu?" tanya gue.
Pak Diwan menganggukkan kepala.
"Lalu masih di tempat yang sama, Igor memeragakan gerakan mencekik dari jarak jauh. Leher saya terjepit tanpa disentuh, tubuh saya terangkat bersamaan dengan gerakan tangan Igor, darah saya seolah terperas ke kepala. Saat itu Art muncul dari sebuah portal dan menghentikan semuanya."
"Itu pertemuan Anda dengan Art?" tanya Yose.
Pak Diwan mengiyakan. "Saya terjatuh di lantai, benar-benar membeku tak bisa menggerakkan tubuh. Tetapi indera saya masih berfungsi. Dan saya mendengar semua percakapan mereka sebelum tak sadarkan diri."
Baik gue ataupun Yose, kami sama-sama tertegun menunggu ke arah mana cerita ini berujung.
Pak Diwan menyeka ekor matanya dengan punggung telunjuknya. "Cincin itu memberi saya sebuah kekuatan. Kekuatan yang bisa mewujudkan semua pikiran buruk saya."
"Bagaimana Anda bisa tahu?" tanya gue lagi.
Beliau berdiri, berjalan ke arah jendela yang di baliknya air tintik-rintik jatuh.
Selama ini satu-satunya Sinestesian yang gue tahu hanya Art. Jadi, kisah tentang sejarah kemampuan Pak Diwan masih membuat gue tercengang dan membayangkan seperti apa kisah Sinestesian yang lainnya.
"Saya diberitahu setelah mereka membawa saya ke sebuah bangunan gedung mangkrak yang sampai sekarang saya masih tidak tahu lokasinya di kota mana. Mereka mengikat saya pada sebuah kursi dengan linggis. Kalian pasti tahu siapa yang melakukannya.
Mereka bertiga merundingkan bagaimana cincin itu bisa masuk ke dalam tubuh saya. Igor memberi usul untuk membunuh saya agar cincin itu keluar. Namun, Kristof memiliki usul lain agar sifat Antonim dalam diri saya harus dikeluarkan dan biarkan cincin itu tetap berada dalam tubuh saya. Ia berpikir, bagaimana pun cincin itu menghilang dengan sendirinya."
"Antonim?" tanya gue.
"Sifat negatif ruh manusia. Tabiat buruk. Pak Diwan seorang kleptomaniak. Itu sifat Antonimnya." Tak gue sangka Yose yang menjawab.
"Proses pelepasan Antonim dilakukan oleh seorang Sinestesian perempuan yang saya tidak tahu namanya. Seperti ruqyah. Namun rasanya lebih seperti duduk di kursi listrik bertegangan tinggi. Sangat menyiksa."
Di tengah ketegangan obrolan. Kami dikagetkan oleh pintu yang digedor keras-keras.
Yose berdecap, lalu bergegas menuju pintu.
Pak Diwan menjeda ceritanya, menatap bergantian ke arah pintu dan gue. Seakan sedang menunggu gue bereaksi saat sesosok manusia setengah rusa elk memasuki ruangan bersama Yose.
Gue menjingkut melihat makhluk itu yang nyaris menyundul atap saat berjalan tegak seperti manusia. Ia memunggu sebuah karung penuh yang tampak ringan. Mata kami bertatapan.
Kami berempat terdiam canggung.
"Aku membawa surat-surat baru," ujar makhluk itu dengan suara yang terdengar mengerikan dan bodoh. "Leo menitip salam. Dia bilang, kau bisa langsung menugaskan anak itu kalau kau sudah menculiknya." Telinganya mengibas.
Yose memijit keningnya.
Gue menoleh ke arah Pak Diwan.
"Ini anaknya?" tanya makhluk itu polos.
Pak Diwan dan Yose berkacak pinggang.
"Sebaiknya kalian langsung beri dia tugas. Waktu kita tidak banyak. Cincin Kristof harus segera diwariskan ke putrinya."
Tunggu, apa?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Moxie
Teen FictionNo need description. Just enjoy the story and trust the author.