Hai, selamat malam!
Apa kabar kalian? Baik-baik, ya.
Sudah kangen sama Moxie belum?
Masih semangat buat berkomentar? Karena saya yakin di bab ini bakal rame.
Di bab ini saya harap kalian bisa berpikir jernih dan jangan bikin asumsi-asumsi apa pun dulu, ya. Ikuti saja alurnya. Sekali lagi, ini hanya fiksi dan nggak ada kaitannya sama kehidupan nyata. Sebagai disclaimer, di bab ini saya tidak bermaksud menistakan atau pun mendukung suatu golongan. Juga, POV di bab ini semata-mata hanya perspektif atau isi kepala tokoh fiksi yang tentu saja semua orang juga punya jalan pikiran yang berbeda-beda. Intinya, baca dengan kepala dingin. No judgmental. Terimakasih sudah mengerti.
Lagu untuk bab ini berjudul Sweet by Cigarettes After Sex.
Dan untuk bab selanjutnya akan saya unggah kalau bab ini sudah tembus 7000 komentar. Jadi, selamat patungan.
Bantu saya temukan typo. Belum disisir soalnya. Thanks. Semangat!
***
*****
Chapter 05
[Mia]
Aku benci orang-orang yang sok populer. Bukan karena aku yang nggak populer lantas membenci mereka. Tapi karena sebagian besar dari mereka memang nggak punya sesuatu yang unggul dan layak untuk dibanggakan. Mereka hanya sekelompok orang yang berada di saf terdepan dalam mengikuti tren terkini, apa saja, lalu berkumpul dengan spesies yang sama, kaya, dan punya pacar. Kemudian seolah semua siswa otomatis mengenal mereka dan terpisah oleh batasan label populer dan tidak populer ―seperti aku, tentu saja.
Begini, ya. Maksud aku, tetanggaku Sky sudah meletakkan standar yang cukup tinggi untuk menjadi populer di sekolah. Dia atlet judo dengan banyak medali, nggak pamer, punya dagu yang bagus menurutku, pemilihan aroma parfumnya seolah hanya ada satu di dunia ―aroma Sky, dan nggak punya pacar.
Tapi, menurutku Sky tetap layak menjadi populer meski dia nggak pernah berusaha meletakkan dirinya di antara kubangan cewek-cewek yang ingin mengusap otot perut Sky. Sky, berbeda. Dan aneh. Juga manis. Dia terdiri dari kombinasi seperti itu yang rumitnya melahirkan pertidaksamaan denganku.
Kami tinggal di komplek perumahan yang sama. Orang tua Sky nggak pernah suka bertetangga denganku meski kenyataannya rumahku berdiri tepat di seberang rumah mereka dan aku satu sekolah dengan Sky. Mungkin karena nggak ada orang yang bisa naik ke atap rumahku untuk membersihkan sampah dedaunan tabebuya yang penuh dan mulai menghumus. Atau rumput liar yang entah dari mana datangnya tumbuh dan menjalar di tembok luar rumahku. Atau tiga kuburan kura-kura dan dua kuburan kucing di halaman rumahku yang nisannya bisa terlihat jelas oleh siapa pun yang melintas. Sehingga membuat rumahku tampak seperti sarang penyihir yang wajahnya penuh dengan kutil.
Aku cuma tinggal sendirian di rumah. Kakakku Beno lebih memilih tinggal di kota lain dengan bisnis muncikarinya yang sukses dan terpercaya. Ya ampun. Kami terakhir berkomunikasi pekan lalu saat akhirnya Beno mengirim uang lagi setelah aku todong dengan alasan makam ibu akan ditumpuk kalau biaya retribusinya tidak dibayar. Sementara itu, semua orang tahu tentang Ayah yang masih dipenjara karena menjadi bagian dari kelompok yang melakukan pembunuhan secara terencana. Heran. Aku nggak tahu kenapa Tuhan membiarkan aku lahir di antara orang-orang yang tolol. Maaf, Bu, kecuali Ibu. Yang kubicarakan adalah Ayah dan Beno. Bukan Ibu. Tolong, Bu, jadilah hantu dan takuti mereka berdua.
Terlepas dari itu semua, aku dan Sky berteman baik. Sky payah di beberapa mata pelajaran. Itu sebabnya dia sering main ke rumahku untuk meminjam PR. Ya, meski pada akhirnya dia selalu mendapat telepon dari orang tuanya dan itu menjadi alasan untuk cepat-cepat pulang. Lagipula, yang seperti Sky tidak pantas lama-lama di rumahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moxie
Teen FictionNo need description. Just enjoy the story and trust the author.