07 - Transenden

3.7K 884 9.1K
                                    

Halooo, selamat petang orang-orang baik!

Apa kabar? Semoga sehat selalu. Alhamdulillah saya sudah sehat semula.

Bagaimana bab kemarin? Kesel nggak tuh sama si Sky? Semoga di bab ini nggak makin kesal ya.

Saya yakin bab ini bakal penuh gejolak dan menambah satu milyar tanda tanya di dalam pikiran kamu. Tahan emosi, pokoknya tahan.

Di bab ini saran saya jangan biarkan kepala kamu menebak. Soalnya bab ini bakal enjoy banget kalau dibiarkan mengalir begitu saja. Trust me. Kalau pengin nangis keluarin aja.

Bab ini masih nyambung dengan bab kemarin. Tapi ... huff. :(

Bab ini juga seru banget. Seru sampai bikin kalian langsunh kepo sama bab selanjutnya.

Kali ini target komentarnya 7K biar bisa lanjut ke bab berikutnya. Ayolah tembusin. Pasti bisa. Yang ikut kontes komentar harus nongol terus biar dapat kesempatan lebih besar. Sering nongol, semakin familiar juga bagi para pemantau dengan akun-akun kalian.

Oke. Saya nggak mau banyak bicara. Sebab bab ini yang akan mengatakan semuanya.

Di bab ini kamu perlu mempertajam daya imajinasi kalian ke level yang lebih tinggi. Dipakai lagi la imajinasinya. Bisa yok, bisa! Pasti bisa. Karena kalau bisa, kalian akan terhisap ke realitas yang lain dalam Moxie.

Good luck.

Lagu wajib bangettt untuk bab ini adalah Dangerous Game by Klergy. Plis sambil dengerin.

Bantu saya temukan typo.

***
********

CHAPTER 07

{Mia}

Mereka berada di rumahku sampai berjam-jam karena semua orang yang penasaran akhirnya pada ikut masuk. Bahkan teman-teman sekolahku yang akhirnya tahu itu rumahku juga ikut andil seolah melakukan hal yang benar. Mereka menyentuh barang-barang di rumahku, menggeledah apa saja yang mereka temukan, berdecak ngeri seolah rumahku adalah apa yang mereka sangkakan, menatap figura-figura foto yang terpasang di dinding, mengomentari apa saja yang mereka lihat, masuk ke kamar-kamar, membongkar isi lemari dan menguras semua pakaian di dalamnya. Sementara yang bisa aku lakukan cuma menangis tanpa air mata yang keluar. Sakit. Nggak terima diperlakukan seperti ini oleh orang-orang.

Aku mendengar beberapa obrolan. Persis seperti apa yang aku duga bahwa ada tetangga yang melihat Sky dalam rupaku menyelinap dari rumahnya ke rumahku dengan mencurigakan sekitar pukul tujuh pagi. Itu berarti aku sudah berada di sekolah. Sementara orang tua Sky tiba dari Malang sekitar sejam setelahnya dan baru saat itu jasad yang lehernya tergorok ditemukan. Lalu terus bergulir sampai sekarang.

"Anaknya tuh memang aneh. Dia kayak nggak punya teman. Cuma Mas Sky aja yang suka kelihatan bercandaan di depan rumah Mia," seorang tetangga ibu-ibu mengatakan itu pada teman-teman sekolahku dan warga yang hadir. Menyakitkannya, mereka seperti langsung percaya. Mereka membicarakan aku di dalam rumahku sendiri.

"Bapaknya si Mia kan di penjara udah lama. Terus ibunya udah nggak ada. Mia tinggal sama kakak laki-lakinya yang kerjaannya nggak jelas juga. Nggak tahu pulangnya tiap kapan. Ada yang bilang sih germo gitu," kata ibu-ibu itu lagi dengan ekspresi geli, "Jadi Mia itu hidup dari uang haram."

"Sama Mas Sky memang sering kelihatan bareng. Mas Sky-nya sering main gitu. He-em, mungkin karena satu sekolah kali, ya. Ih, Ibu mah juga kalau si Adek main pasti Ibu larang lewat rumahnya Mia. Serem. Tapi namanya juga anak kecil kadang meleng tetep nangkep serangga di sekitar rumah ini," ibu-ibu yang lain ikut berbicara seolah mengerti tentang hidupku dari pada siapa pun.

MoxieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang