"Papa... papa Anin kangen, pa," lirihan itu kembali ia ucapkan di tengah tangisannya.
Wajah cantiknya sengaja ia sembunyikan pada bantal sudah basah karena air matanya.
Sudah hampir satu bulan semenjak papanya pergi, tetapi Anin masih selalu diam-diam menangis merindukannya.
Seperti malam ini contohnya, ia menyendiri di kamar. Dengan suara tangisnya yang pelan, merindukan sang papa di kamarnya yang gelap.
Papa itu cinta pertamanya Anin. Papa yang selalu mengerti Anin.
Anin mendongak, pengap juga lama-lama menyembunyikan wajah di bantal. Tetapi yang benar-benar membuat Anin segera mengangkat kepalanya bukan karena rasa pengap, melainkan sebuah panggilan dari sang mama.
"Aniiin!" Begitu bunyi panggilannya. "Turun sini!"
Anin menghela napas, terisak sekali lagi. Melihat ke arah cermin di kamarnya, cuci muka, lalu segera turun.
"Nin, beliin telor ya di warung yang deket pertigaan di ujung jalan," ucap mama dari arah dapur. "Setengah kilo aja itu uangnya ambil di dompet."
"Emang warung jam segini masih buka ma?" tanya Anin sambil meraih dompet mama di atas meja dapur.
"Nggak tau sih, liat aja dulu."
Anin menganggukkan kepalanya saja mendengar jawaban dari mama. Ia berbalik sudah hendak melanjutkan langkah, tetapi mendadak berhenti begitu saja. "Beli apa?" tanya gadis itu.
"Kamutuh kebiasaan ya nggak fokus gitu, makanya kalo mama ngomong tuh dengerin!"
Anin meringis pelan mendengar mamanya mengomel menjawab tanya darinya.
Tetapi mama benar sih, Anin sekarang jadi jarang fokus. Entah apa penyebabnya.
"Telor setengah kilo," ucap mama seraya berbalik menghadap Anin sambil berkacak pinggang. "Awas jangan lupa lagi!"
"Ih banyak banget??" komentar Anin tidak sengaja terlontar begitu saja. Tidak sadar mamanya sudah memasang tampang hendak mengomel lagi. "Oke siap ma!"
Anin segera berlari keluar dari dapur, pergi menuruti perintah mamanya.
"Plester satu ya, Bi Em."Angkasa mengetuk-ngetuk pelan meja kaca warung bi Eem seraya menunggu sang pemilik warung mengambilkan pesanannya.
Plester. Iya, ada satu luka yang terlewatkan Sahmura saat diobati. Luka goresan di bawah sikunya yang baru Angkasa sadari saat tadi sore ia mandi.
Perih. Tapi Angkasa sudah terbiasa.
"Permisi...."
Angkasa spontan menoleh mendengar suara itu, sudah siap tersenyum pada pembeli lain yang datang ke warung yang sepi malam itu. Tetapi senyuman itu tak jadi ia lukis, laki-laki itu segera mengalihkan perhatiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raja Muda Angkasa
Teen Fiction"Raja muda angkasa itu, ditakdirkan untuk selalu mengagumi langit." update once a week Copyright © 2021, faystark_