Angkasa 20: Pukul 11.11

94 26 7
                                    

Angkasa pikir, kejadian saat di gang itu tidak akan mempengaruhinya. Angkasa sudah berupaya kuat untuk tidak mempedulikan lagi kejadian itu, tetapi hasilnya nihil. Nyatanya kejadian itu amat mempengaruhi Angkasa.

Bagaimana Angkasa yang sering kali merasa takut. Angkasa yang semakin merasa bersalah. Angkasa yang ingin kabur tapi tidak bisa. Masalah itu harus diselesaikan, tidak bisa Angkasa kabur begitu saja.

Tetapi harus bagaimana? Angkasa takut untuk menghadapinya. Bahkan kini, ia tidak pernah berani lagi untuk melewati gang itu sendirian.

Jelas sekali kejadian malam itu sangat berpengaruh bagi Angkasa.

Seperti malam ini misalnya, saat dirinya terlibat pada sebuah tawuran di salah satu jalanan yang sepi.

Angkasa meringis pelan, merasakan sakit pada tulang pipinya setelah mendapat satu pukulan dari lawannya. Ia mengumpat pelan, lalu menarik kerah baju si yang tadi memukulkannya, sebelah tangannya yang mengepal terangkat, siap memukulkannya pada wajah si pria di hadapannya.

Tetapi pergerakannya tertahan di udara, napasnya memburu dengan tangan yang perlahan bergetar.

Belum pukulan itu ia daratkan, seseorang tiba-tiba saja memukul punggungnya dengan kayu. Angkasa kembali meringis pelan, berbalik, dan dengan penuh amarah segera mendaratkan pukulan pada orang yang baru saja memukulnya.

Sang pemuda Bumantara mematung seraya melotot tidak percaya melihat lawannya tersungkur jatuh dengan darah yang keluar dari hidungnya. Napas Angkasa semakin memburu, dengan tangan yang semakin bergetar.

Pria Bumantara kemudian berbalik, melihat pria yang tadi hendak di pukulnya terlihat bergerak hendak menyerangnya, tetapi Angkasa justru malah terdiam. Dan syukurnya, pria yang hendak menyerangnya itu segera diserang terlebih dahulu oleh Jonathan.

"Jangan lengah!" ucap Jonathan segera menyadarkan Angkasa dari lamunannya.

Angkasa tersentak, memperhatikan sekitarnya, melihat kekacauan karena tawuran. Beberapa orang bahkan terlihat sudah tumbang meringkuk di atas jalanan.

Pria Bumantara itu kemudian menoleh ke bawah, melihat seseorang yang merangkak dan memegangi sebelah kakinya. "Shit!" umpatnya ketika si pria dibawahnya yang terlihat sudah babak belur parah, merogoh sebuah pisau lipat dari saku celananya, Angkasa melotot kaget dan segera menendang wajah pria yang terlihat sudah kewalahan itu dengan sebelah kakinya yang terbebas. Tetapi karena si pria masih memegangi kuat sebelah kaki Angkasa, sang pemuda Bumantara itu terjebam jatuh ke belakang, terduduk dengan sebelah kakinya masih dipegang kuat oleh pria itu.

Si pria di bawahnya terkekeh sinis, segera mengangkat sebelah tangannya yang memegangi pisau lipat, dan sudah hendak menusukannya pada paha Angkasa.

Angkasa dengan sigap segera menjejak-jejak si pria di hadapannya, lalu saat melihat pria itu kewalahan, ia segera bangkit dan menahan tangan pria yang memegangi pisau itu. Merebut paksa pisau lipat itu dan dengan emosi yang membara, ia mengangkat sebelah tangannya. Hampir saja menusukan balik pisau itu pada pria di hadapannya.

Bumantara tersentak, napasnya kembali memburu terkejut sendiri dengan apa yang hampir saja hendak dilakukannya. Ia menunduk, melihat pria di bawahnya yang kini terlihat memicingkan matanya ketakutan. "M-maaf," ucap Angkasa dengan suara dan tubuh yang bergetar hebat. Pikirannya amat kacau.

Angkasa sudah gila.

Sebuah suara sirine polisi dengan cepat menghentikan kegiatan tawuran itu. Angkasa menoleh panik pada pusat suara, ia kemudian menoleh pada Brian yang meneriakinya. Pria Bumantara kemudian segera melepas paksa pegangan si pria di hadapannya pada sebelah kakinya, lalu dengan segera berlari menghampiri Brian yang sudah menaiki motornya dan segera duduk di jok belakang motor Brian.

Raja Muda AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang