Angkasa 08: Pernah, terlambat

110 32 2
                                    

"Kamu nggak papa?"

Anin spontan merotasikan bola matanya mendengar tanya yang terlontar dari Angkasa.

Benar-benar ya pemuda itu! Bukannya mengkhawatirkan diri sendiri yang sudah menahan beban rak buku, malah orang lain yang ditanyai!

"Tau ah! Males!" sungut Anin segera berjalan menjauh dari lemari yang baru selesai terangkat.

"Anindya nggak papa?"

Kali ini bu Mega yang bertanya, lengkap dengan mimik khawatir yang terlukis pada wajahnya. Bu Mega melangkah menghampiri gadis Amerta.

Senyuman tipis itu Anin lukiskan pada wajahnya. "Nggak papa bu, itu Angkasa kayaknya yang kenapa-napa deh bu," jawabnya.

Wanita yang kini mengenakan pakaian berwarna coklat tua dengan rok berwarna senada itu menoleh, menatap pada Angkasa yang sedang membersihkan debu-debu kecil pada seragamnya.

"Kamu nggak papa Angkasa?" tanya bu Mega.

Angkasa menoleh. Segera menghentikan kegiatannya, lalu menjawab seadanya, "nggak papa bu."

"Angkasa bohong bu, tadi aja ngeluh sakit punggung pas di dalem," celetuk Anin.

Angkasa mendelik mendengar ucapan gadis itu. Bohong apanya? Bukannya Anin yang baru saja berbohong? Angkasa tidak ingat pernah mengeluhkan sakit punggung. Angkasa sungguh baik-baik saja, hanya pegal karena terlalu lama menahan beban yang cukup berat saja.

Ya bayangkan saja, Angkasa menahan rak yang terbuat dari kayu yang menimpanya. Raknya terjatuh seperti domino, menimpa rak di sebelahnya yang juga jatuh, terus sampai rak yang terakhir. Dan Angkasa terjepit di antaranya, hanya menahan dengan punggung dan sebelah tangannya, tangan yang sebelahnya lagi ia gunakan untuk melindungi kepala Anin.

Tetapi, bukankah ini juga sebuah keajaiban?

Bagaimana bisa Angkasa baik-baik saja setelah tertimpa rak buku yang cukup berat itu? Anin bahkan sempat berpikir Angkasa bukan manusia sanking kuatnya, atau jikapun khayalan Anin terlalu berlebihan, bagaimana jika ternyata Angkasa adalah sosok manusia yang diberi kekuatan yang amat kuat layaknya Samson Betawi? Otot kawat, tulang besi.

"Aduh, Angkasa ke UKS aja atuh ya?" ucap bu Mega khawatir.

Anin tersadar dari lamunan singkatnya. Ia melirik, kembali memperhatikan Angkasa yang berdiri tak jauh di depannya.

"Nggak papa kok bu, Angkasa nggak papa."

Angkasa meringis pelan, tersenyum menunjukkan deretan giginya. Ia melirik pada Anin yang kini menatapnya sinis.

"Yaudah, kalo gapapa lanjut belajar aja kali ya? Kan tadi niatnya juga mau belajar."

Angkasa melotot, sudah hendak protes tetapi Anin sudah menjurung-jurungnya untuk kembali ke meja. Pemuda Bumantara itu mau tidak mau segera menurutinya.

Angkasa melirik sekitar, tersenyum singkat pada guru-guru yang mengenalinya. Ia kemudian melirik Anin di depannya yang masih saja memperhatikannya. "Punggung Angkasa sakit, Nin...."

"Cih, bohong banget!" sahut gadis itu, kemudian beranjak pergi, mencari kembali buku yang telah dipilihnya tadi.

Angkasa memajukan bibir bawahnya, memperhatikan Anin yang sibuk dengan kegiatannya. Ia menghela napas, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, kini pandangannya lurus ke arah depan yang sedetik kemudian tubuhnya kembali menegak, melihat Sahmura yang menunduk takut menghampirinya.

"Sahmura?"

"Abang," sahut Sahmura, gadis itu menggigit bibir bawahnya. Melirik sekilas pada Angkasa. Kedua tangan di sisi tubuhnya mencengkram erat ujung seragam yang dikenakannya. "Maafin Sahmura."

Raja Muda AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang