Angkasa 22: Pelabuhan Hati Anindya

87 29 8
                                    

Kedua mata Anin perlahan memanas. Larut dalam swastamita di hadapannya.

Sebuah lukisan jingga pada bumantara benar-benar membuat ingatannya terlempar jauh pada masa lampau.

Dimana dirinya, mama, Kak Jey, dan juga papa sedang menikmati pemandangan sunset. Persis seperti dirinya saat ini bersama Bumantara.

"Nin?"

Anin tersentak, menoleh ke arah sisinya yang bersamaan dengan itu, air matanya terjun jatuh. Perempuan itu dengan segera menghapusnya. "Aduh maaf-maaf, daritadi nangis terus ya aku, maaf ya?" ucapnya.

"Lah? Aneh minta maaf cuma gara-gara nangis," sahut Angkasa seraya kini mengusapi kepala Anin. "Kenapa? Kok tiba-tiba nangis?"

Anin menunduk seraya menjawab pertanyaan Angkasa. "Kamu kapan, biasanya kangen sama orang tua kamu?"

Angkasa tidak segera menjawab usai mendengar tanya itu. Mengerti jika Anin sedang merindukan papanya. Pria itu mendekap Anin, membiarkannya untuk bersandar pada bahunya. Sejenak, pria itu kembali mengusapi kepala Anin sebelum menjawab, "setiap hari."

Anin spontan mengangkat kepalanya, menatap pada Angkasa. "Cara ngatasinnya gimana?" tanya perempuan itu. Hidungnya memerah dengan bulu mata yang basah sisa-sisa menangis.

"Peluk Sahmura, dia mirip sama bunda Nin," jawab Angkasa, kini kembali mendekap Anin. "Gapapa ya kalo mau nangis, nangis aja."

"Kamu juga." Anin menoleh, kini benar-benar menatap lekat kedua mata Angkasa. "Kalo mau nangis jangan ditahan."

Angkasa tertegun mendengarnya. Menatap Anin dengan tatapan tak terbacanya, pria itu mendengus pelan yang kemudian segera tersenyum. "Angkasa nggak papa Anin."

Tetapi Anin tidak bereaksi banyak, hanya menatap Angkasa lekat. Tidak salah jika Anin mengatakan bahwa Angkasa itu pria yang kuat. Terakhir kali Anin melihat Angkasa menangis itu tadi, saat pria di sisinya terlalu mengagumi swastamita. Selain itu, hanya saat ia tidak sengaja menguping percakapan Angkasa dan neneknya, sisanya ia tak pernah lagi melihat Angkasa menangis. Bahkan, saat menceritakan tentang masalah dengan Sahmura di masa lalunya pun, ia terlihat tidak sedikitpun mengeluarkan air matanya.

Angkasa pria yang kuat, itu benar. Tetapi, pria kuat pun berhak untuk menangis bukan? Maka sore itu, Anin dengan amat tulus dan hati-hati segera memeluk Angkasa.

Membuat pertahanan Angkasa runtuh begitu saja.

Pemuda itu balas memeluk Anin, menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Anin. Menangis terisak di sana. Menumpahkan semuanya.

Anin dengan lembut mengusapi punggung Angkasa, seolah menyuruh pria itu untuk menangis. Menyuruhnya untuk menumpahkan semua rasa lelahnya.

"Angkasa capek ya?" tanya Anin yang dibalas anggukan oleh Angkasa.

Pria itu semakin terisak, menumpahkan segala rasa sesaknya. Rasa sesak karena perasaan merasa bersalahnya. Rasa sesak karena rindu pada sosok kedua orangtuanya. Rasa sesak karena ketakutannya. Segala rasa sesak yang selama ini menumpuk tanpa bisa ia tumpahkan.

Anin kini tak lagi berucap apa-apa, membiarkan Angkasa dengan tangan yang masih dengan lembutnya mengusapi punggung Angkasa. Memberikan Angkasa menumpahkan semuanya.

Sampai lima menit setelahnya, Angkasa barulah mulai tenang. Tetapi pria itu masih mempertahankan pelukannya, bersandar nyaman dalam dekapan Anin.

"Angkasa capek," ucap pria itu.

Anin masih diam menunggu Angkasa melanjutkan perkataannya.

"Angkasa capek terus berbuat dosa. Angkasa capek mukulin orang," lanjut pemuda Bumantara. "Angkasa ngerasa bersalah tiap abis mukulin orang Nin, Angkasa harus gimana?"

Raja Muda AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang