03.

8.7K 1K 95
                                    








Junkyu menatap ke luar jendela. Tirai berwarna abu gelap bergerak pelan mengikuti arah angin bertiup.

Cuaca di luar cerah. Sinar matahari mulai menyusup masuk melalui celah tirai yang tak berhenti bergerak tersapu angin.

Harusnya Junkyu merasa nyaman. Nyaman dengan udara pagi yang lembap yang terhirup oleh penghidunya. Suasana yang paling dia suka selain suasana senja.

Namun itu tak berlaku lagi sekarang. Semuanya terasa hambar untuk Junkyu. Tak ada lagi warna dihidupnya setelah dia menjadi bagian hidup seorang Watanabe Haruto.





Ceklek




Suara pintu bahkan tak dapat mengembalikan Junkyu dari lamunannya, pun dengan suara troli yang di dorong seseorang, dengan berbagai jenis makanan tersaji di atas troli besi itu.



"Waktunya sarapan."





Suara itu. Suara yang sudah lama dia rindukan namun juga dia benci di waktu bersamaan. Cengkeraman tangannya pada tirai jendela semakin mengerat. Meluapkan segala bentuk emosi yang terkumpul di dalam dirinya namun tak bisa dia luapkan.




Pada orang itu.





Junkyu menarik nafas pelan. Mengumpulkan keberanian untuk membalikkan badannya dan berhadapan dengan seseorang yang masih memegang tahta tertinggi di hatinya.

"Aku tak lapar." kalimat itulah yang keluar dari belah bibir Junkyu setelah beberapa sekon matanya bertubrukan dengan mata kelam orang yang berada di kamarnya.

Orang itu, masih berwajah sama. Datar tanpa adanya ekspresi yang bisa netra Junkyu baca. Membuat Junkyu bingung, apakah seseorang itu benar manusia atau hanya manekin berjalan.

"Terserah kamu. Tugasku hanya mengantar makanan ini. Jika kamu merasa lapar, kamu bisa memakannya, jika tidak.. kau sendiri tau konsekuensinya." ucap orang itu datar lalu berniat berbalik mendekati pintu kamar.






"Sampai kapan.." lirih suara Junkyu membuat langkah orang itu terhenti. Tangannya terpaku di handle pintu dengan badan menegak kaku.







Tak berbalik, pun tak melanjutkan langkahnya. Seakan menunggu kalimat lanjutan dari Junkyu yang kini menunduk menyembunyikan tetes demi tetes airmata di wajahnya.

"Sampai kapan kamu akan menyerahkanku pada sahabatmu? Apa aku setidak penting itu di hidupmu sampai kamu tidak berniat membantuku pergi dari sini? Apa kebersamaan kita dulu tak berarti sama sekali untukmu? Aku pacarmu. Aku pacarmu Je-"

"Dulu." jawaban dari orang itu membuat ucapan Junkyu terhenti.


"Dulu kamu memang pacarku. Namun sekarang kamu pacar Haruto. Pacar sahabatku. Masa lalu tak akan pernah menjadi masa depan, baik untukmu ataupun untukku. Jadi jangan berharap hal-hal yang tak akan pernah terjadi, Kim Junkyu." ucap orang itu tanpa sedikitpun menatap ke arah Junkyu yang kini menatapnya nanar.

"Habiskan makananmu sebelum Haruto pulang tiga jam lagi. Aku pergi." dan orang itu benar-benar pergi.







Orang itu benar-benar pergi meninggalkan Kim Junkyu.








Junkyu meluruh. Menyembunyikan wajahnya di antara lututnya yang bergetar. Menyembunyikan rasa sesak yang dia rasakan saat seseorang yang dia harapkan untuk mengeluarkannya dari penjara ini, justru ikut memberikan luka di hatinya.





Park Jeongwoo.






Seseorang yang menjadi bagian penting dalam hidupnya dulu, namun dengan tega melepasnya dan memberikan Junkyu kepada sang sahabat,






Watanabe Haruto.






.
.
.



'Jeje sayang sama Juju?' tanya seorang anak laki-laki berseragam menengah pertama dengan mata mengerjap saat melihat seorang anak laki-laki seusianya berdiri di depannya dengan satu kotak coklat.

Anak laki-laki itu, yang dipanggil Jeje mengangguk. Nama aslinya Jeongwoo namun teman-temannya sering memanggilnya Jeje karena lebih gampang.

"Aku sayang kamu." ucap Jeje membuat semburat merah di pipi Junkyu mulai terlihat jelas.

Juju, panggilan Junkyu sedari kecil. Dengan tangan bergetar, Junkyu menerima uluran coklat dari Jeongwoo.

"Juju juga sayang Jeje." ucap Junkyu malu-malu.

Jeongwoo yang mendengar jawaban Junkyu ikut tersenyum. Senyumnya semakin lebar saat Junkyu dengan gemasnya menjulurkan jari kelingkingnya.

"Sekarang Jeje punya Juju. Juju juga punya Jeje. Janji jangan tinggalin Juju ya?"

Jeongwoo menggeleng geli melihat tingkah Junkyu, namun dia tetap menurut. Ikut mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking Junkyu.

"Iya, Jeje janji gak akan ninggalin Juju."

.
.
.











Bohong.






Semua ucapan Jeongwoo hanyalah kebohongan yang diucapkan oleh anak-anak.


Buktinya kini, Junkyu sendiri. Jeongwoo meninggalkannya dan lebih memilih menjadi orang asing daripada membantunya terbebas dari belenggu yang dibuat Haruto kepada Junkyu.





Dirinya sudah tak ada artinya lagi di hidup Jeongwoo.






Kenyataan itu membuat Junkyu semakin menenggelamkan wajahnya di lututnya. Menangisi nasibnya yang berubah kelam setelah kejadian itu.







Kejadian yang membuat kepemilikan dirinya berpindah tangan,






dan itu bukanlah karena kemauannya.














Tanpa Junkyu sadari, Jeongwoo sedari tadi tak berpindah seinchi pun dari depan pintu. Jeongwoo masih berdiam diri dengan tangan terkepal erat saat mendengar tangisan Junkyu. Amarahnya ikut tersulut, namun dengan cepat Jeongwoo sadar. Jeongwoo harus menahan sekuat tenaga perasaannya supaya rencananya berhasil sempurna.



Belum saatnya.




Saat ini belum waktunya untuk Jeongwoo mengambil kembali Junkyu ke dalam pelukannya.





"Tunggu sebentar lagi Juju." gumamnya lalu melangkah menjauhi kamar Junkyu sebelum para pekerja di mansion Haruto curiga dengannya.














TBC/End???

Makin aneh??

Run Away [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang