28. Adil Tidak Harus Sama

4.1K 431 139
                                    

Diyana buru-buru menarik selimut sebatas dada, menggeser tubuhnya dan melongok ke samping untuk melihat suaminya yang sedang berjongkok sibuk mencari-cari sesuatu di laci bawah tempat tidur. Mereka baru saja melakukan sesi foreplay dan keduanya sama-sama tidak mengenakan busana.

"Kondomnya habis ya, Din? Perasaan waktu itu aku beli banyak deh, sengaja buat tiga bulan ke depan. Tapi ini belum tiga bulan kok udah habis."

Diyana memutar bola matanya, bagaimana tidak cepat habis jika setiap on fire Tamma hampir setiap hari memintanya. Tetapi Diyana tidak mungkin berkata seperti itu, ia hanya menjawab, "Yaudahlah nggak usah pakai aja. Kayak di tempat Mama kemarin."

Tamma mendesah. "Nanti telat nyabutnya kamu ngomel-ngomel lagi."

Setelah melahirkan Shabira delapan tahun yang lalu, Diyana sempat menggunakan pil KB. Tapi rupanya efek samping yang dirasakan tubuhnya tidak memungkinkan ia untuk mengkonsumsinya lagi. Diyana sering mengalami migrain dan vertigo. Sehingga sejak saat itu mereka memutuskan menggunakan alat kontrasepsi lain untuk melakukan hubungan.

"Aku nggak mau kepikiran perkara telat nyabut pas lagi enak-enaknya. Dibiarin masuk nggak apa-apa?" Lelaki itu menatapnya dengan ekspresi memelas.

"Enak aja! Nggak!" tolak Diyana tegas. Ia tidak pernah kepikiran untuk menambah anggota baru di keluarganya. Baginya satu anak saja cukup. Karena memiliki bayi sama dengan membunuh kebebasannya. Selain itu menjaga amanah berupa seorang anak itu tidaklah mudah.

"Terus?" tuntut Tamma. Lelaki itu terlihat sudah tidak tahan.

"Ini tanggal berapa sih? Pertengahan ya? Lagi nggak subur."

"Jadi nggak apa-apa?" Tamma kembali mendekat dan menindihnya.

Kurang lebih sepuluh menit setelah selesai, mereka memilih untuk meredakan napas sejenak. Tamma tersenyum menatap istrinya yang sudah terlelap di lengannya. Lelaki itu menarik bantal dan memindahnya pelan. Disingkirkan anak-anak rambut Diyana ke belakang telinga. Ia terpaku. Belum pernah Tamma mendapati sedikitpun cela dalam diri perempuan ini.

Tamma tidak pernah menyangka hidupnya akan berjalan begitu rumit. Takdir yang tak pernah ia sangka-sangka akan benar-benar menaunginya. Bukankah sangat beruntung ia memiliki perempuan ini di hidupnya? Seorang istri jelita baik paras maupun hatinya. Tapi apa yang sudah ia lakukan. Ia telah menyakiti perempuan yang tengah berbaring di sampingnya ini. Perempuan yang disebut istri. Yang sudah menemaninya saat suka duka dalam kurun waktu sepuluh tahun.

Mungkin Diyana masih sakit hati, mungkin juga tidak sebesar dulu, atau bahkan mungkin sudah sepenuhnya menerima Ammara. Mengingat sikapnya dari hari ke hari yang semakin melunak, semakin menunjukkan kerelaannya berbagi. Tapi bagi Tamma itu justru seperti ancaman. Ketakutan yang tidak biasa seperti terus mengejarnya. Saat ia harus kehilangan perempuan ini sebagai ganjaran atas fatalnya dalam memutuskan sesuatu yang salah. Diyana adalah satu-satunya perempuan yang bisa membuat hatinya takluk dan merasa khawatir secara bersamaan.

"Aku tinggal bentar, Sayang. Ngerokok." Bisiknya seraya mengecup kening perempuan itu singkat.

Tamma segera menyambar bokser yang teronggok di pojok ranjang dan dikenakan cepat. Memantik rokok sembari memainkan ponselnya, ia berjalan keluar kamar. Senyumnya terbit saat melihat foto Ansel yang dikirim oleh Ammara melalui pesan WhatsApp. Bayi lucu itu hari ini genap berumur satu tahun. Dan Ammara menggelar acara tasyakuran yang dihadiri anak yatim piatu di sebuah pondok pesantren.

Tamma berdiri di balkon. Ia berbalik dan menyandarkan punggungnya di pagar pembatas. Dihisap dalam-dalam nikotin lalu dihembuskan pelan, lelaki itu langsung membalas pesan tersebut.

Semoga Ansel jadi anak yang saleh.

Sedetik kemudian pesannya terkirim dan centang biru. Tampak dari seberang sana sedang mengetikkan pesan balasan.

Belum bobok?

Tamma membalasnya lagi.

Belum.

Panggilan video call langsung muncul di layar ponselnya. Tamma mengangkat benda pipih itu dan menggeser petunjuk terima.

"Kamu lagi di mana itu, Mas? Kok gelap-gelapan?" Wajah Ammara menyembul di layar.

"Di hatimu!" jawab Tamma sekenanya.

"Ish, ditanya serius. Lagi ngapain itu? Ngerokok?"

"Hem."

"Ada kopi nggak di situ?"

Tamma menggeleng. "Buatin lah makanya."

"Ya nanti kalau kamu di sini. Oiya, Mas ... tadi acaranya seru banget tahu! Ansel dipangku sama Abuya. Tausiyahnya juga menyentuh banget. Seneng aku, Mas."

Tamma tersenyum, ikut senang. Meskipun ia harus absen karena waktunya di rumah Ammara sangat terbatas.

"Rame banget dong?" tanyanya.

"Iya. Lima ratus anak yatim. Makasih ya, Mas. Tadi mereka kelihatan bahagia banget dapat sangu. Hehehehe."

Kali ini Tamma memutuskan untuk duduk di kursi yang memang sudah tersedia di teras balkon. Ia menekan rokoknya yang sudah separuh di asbak. "Terus kenapa sekarang kamu belum tidur? Harusnya kalau Ansel lagi tidur gini kamu ikutan tidur, Ra. Biar nanti kalau Ansel bangun kamu nggak terlalu capek karena udah istirahat."

"Iya, Mas. Aku lagi nyelesaiin gambar desain. Soalnya besok sudah harus dikasih ke jasa interior. Mau lihat nggak?"

Tamma menatap gambar yang Ammara tunjukkan di layar. Lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah menjadi bakat Ammara, jadi Tamma tidak heran.

"Bagus nggak?"

"Iya. Bagus."

Hening. Sesaat mereka terdiam. Sampai suara Ammara kembali memecah malam.

"Mas ...."

"Hem?"

"Ini ...." Perempuan itu menjeda kalimatnya. "Misalkan aku pinjam uang dulu boleh? Soalnya kalau pinjam di bank Thalita nggak mau riba."

"Nggak usah pinjam. Besok aku transfer."

"Hah? Nggak, Mas. Uangnya nggak dikit. Aku ngerepotin banget ya?"

Tamma memilih diam. Malas berdebat.

"Mas ...."

"Apa lagi?"

"Aku minjam loh, Mas. Kamu jangan gitu. Nanti pasti aku balikin kalau udah balik modal. Oke?"

"Kalau udah selesai sebaiknya kamu lekas tidur, Ra. Ini aku juga mau balik ke kamar."

"Iya, habis ini mau langsung tidur. Tapi kamu jawab dulu, oke ya?"

Tamma mendengus.

"Mas?"

"Oke, oke ...."

"Hehehehe. Makasih banyak, Sayang. Met tidur. Assalamualaikum."

Note : Lengkap di Karyakarsa🫶

Senapas Tiga Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang