Menjelang tengah malam, keduanya sudah berada di ruang yang sama-kamar pribadi rumah Karel. Tidak ada ranjang tamu. Hanya satu tempat tidur besar yang lampu tidurnya menyala remang.
Tito berbaring di sisi luar ranjang, sementara Karel berbaring di sisi dalam dekat dinding. Awalnya mereka diam. Hanya bunyi AC yang terdengar samar. Tapi udara di antara mereka terasa tebal.
"Kamu gak tanya aku tentang Theo dan dosen itu?" tanya Tito tiba-tiba, memecah keheningan.
"Aku sudah tahu dari awal. Theo terlalu ceroboh. Dan dosennya terlalu mudah percaya," jawab Karel datar.
"Jadi kamu mantau semua mahasiswa?"
Karel tersenyum tipis."Hanya yang aku pedulikan."
Tito menggigit bibir bawahnya pelan, lalu membalik tubuhnya menghadap Karel. Sorot matanya lebih tenang dari sebelumnya."Kenapa aku?"
Karel memandangnya. Lama."Karena kamu menarik perhatian tanpa mencoba, Tito. Karena kamu pintar, tapi suka berpura-pura bingung. Karena kamu terlihat seperti bisa patah hati, remuk tapi belum pernah benar-benar pecah."
Tito tertawa kecil, menunduk."Itu pujian atau ancaman?"
"Terserah kamu memaknainya."
Keduanya terdiam. Tapi kali ini, tidak terasa menegangkan. Ada sesuatu yang pelan-pelan mencair. Tito perlahan menyandarkan kepalanya ke lengan sendiri sambil masih menatap Karel. Suaranya pelan nyaris bergumam:
"Aku gak tahu ini salah atau bukan..."
"Yang kamu rasakan gak pernah salah," balas Karel tanpa ragu. "Yang kamu lakukan-itu yang harus kamu pikirkan baik-baik."
Malam itu, tanpa banyak kata lagi, jarak mereka mengecil. Bukan karena hasrat yang meledak, tapi karena mereka... sedang belajar nyaman di dalam luka yang sama.
Karel meraih tangan Tito perlahan. Menaruhnya di atas dada kirinya. Detak jantung Karel terasa kuat dan stabil. Sementara detak jantung Tito masih berlarian.
"Kamu gak sendiri, Tito," bisik Karel akhirnya.
"Tapi kamu juga harus siap dengan risiko dicintai seseorang seperti aku."Tito tidak menjawab. Tapi dia tidak menarik tangannya. Dan malam itu, untuk pertama kalinya... mereka tertidur dalam satu pelukan, bukan karena pelarian, tapi karena-secara diam-diam-mereka ingin tetap saling bertahan.
Kamar gelap hanya tersinari lampu temaram dari sudut. Tanpa peringatan, Karel bangkit dan bergerak di atas tubuh Tito, tengkurap, kedua tangan merentang membingkai wajah Tito. Napasnya berat, tubuhnya atletis tapi kaku dengan otot halus yang tegang.
Karel menunduk, satu tangan meraih dagu Tito-jari-jarinya menekan lembut, membalik kepala Tito sedikit ke atas. Bibir Karel menempel kasar ke bibir Tito, melumatnya penuh nafsu. Desahan kecil terlepas dari kedua mereka: Tito terbelalak, sekilas terkejut, kemudian ikut terpejam saat ciuman semakin dalam.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Karel terangkat sedikit, menahan dahi mereka berdua beradu. Matanya masih tertutup, bibirnya basah mengkilap. Suaranya turun menjadi bisikan keras di telinga Tito:
"Kamu perokok, kan? Bagaimana bisa bibirmu nggak pernah hitam-dan napasmu nggak pernah bau nikotin-setiap kali aku mencium kamu?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Brondong Kampus [SELESAI]
RomantikLiam Sabert Husodo (22) adalah sosok sempurna di mata publik. Mantan ketua BEM, duta pariwisata, mahasiswa hukum jenius yang selalu tampil menawan dengan senyum manis, rambut menutupi dahi dan poni belah tengah yang khas. Namun semua ini hanyalah t...