Part 13

4.1K 466 10
                                    

Ruangan dengan nuansa abu tua di gedung tertinggi sebuah Bank menjadi saksi bisu atas sebuah kebohongan. Sebuah hal yang selalu menjadi patokan kini hanya tinggal ucapan dan gurauan, bibir yang seharusnya berkata jujur dan menjaga sebuah janji kini hanya tersisa fakta pahit yang merobek hati.

Jika air mata bisa menjelaskan semuanya, mungkin air mata ini akan berteriak sekencang-kencangnya untuk membela sebuah perasaan tulus dari seorang Dara.

Perasaan yang tak pernah berdusta pada tunangannya, perasaan yang selalu sama bahkan jauh lebih besar dari saat pertama mereka jumpa. Demi mempertahankan nama baik dua keluarga, dia berusaha menekan rasa sakit hatinya. Menekan kebencian mendalam dalam dirinya dan dia berusaha berkata.

Dia milikku, hati, raga, jiwa dan seluruh perasaannya untukku. Ini hanya perasaan sesaat, dan saat dia sadar. Pasti dia akan kembali padaku.

"Mas? Boleh Dara tanya?"

Assegaf yang duduk di kursi kerja mendongak lalu menganggukkan kepalanya, dia menatap wajah cantik yang terlihat sangat lelah milik Dara.

"Apakah seorang perempuan salah, jika mempertahankan hubungan yang sudah menuju jenjang pernikahan. Tapi sang lelaki sudah tak ada rasa dengan calon pengantin perempuannya?" Assegaf menegang mendengar pertanyaan Dara.

Assegaf berjalan ke arah Dara, dia menarik pergelangan tangan Dara menuju sofa di pojok ruangan yang menghadap langsung ke arah pemandangan kota.

"Apa ada yang mengganjal di hatimu?"

"Sedikit, Dara hanya takut kehilangan Mas Assegaf." Jawab Dara dengan senyum manis.

"Tak akan pernah, Ra. Kamu satu-satunya perempuan yang Mas cintai, bagaimana mungkin Mas akan meninggalkanmu." Jelas Assegaf, Dara menarik napasnya dalam dan tersenyum.

Embusan napasnya yang berat membuat jantung Assegaf berdetak tak seperti biasanya.

"Terima kasih, Mas." Assegaf tersenyum manis dan mengangguk, tangannya menarik Dara kedalam pelukannya. Bibirnya mencium puncak kepala Dara lembut.

"Ra, tenang saja. Kamu selalu ada di dalam do'a Mas." Bisiknya pelan.

Dara yang mendengar itu tersenyum miris, air matanya menetes membasahi jas Assegaf.

"Mas, bukankah percuma jika ada di dalam do'anya tapi sudah tak ada di dalam jiwanya?"

"Kamu yang ada di dalam jiwa dan hatiku, Ra. Hanya kamu."

"Untuk saat ini, biarkan aku memeluk calon suamiku sebelum dia menjadi calon suami orang lain, Tuhan."

~~~

Hidangan makanan khas Turki yang ada di meja sebuah restoran tak membuat gadis yang tengah duduk di salah satu kursi tersebut tergugah. Dia masih setia dengan ponsel di genggaman tangannya.

Dering telepon yang tak henti-hentinya terhenti membuat perempuan paruh baya di sana mendelik tajam. Tatapan matanya seakan ingin menguliti anaknya hidup-hidup.

"Simpan atau Mama banting?" tegur Ava tajam.

Bella seketika tersentak mendengar ucapan Ava, dia tak tahu jika mamanya tengah memperhatikan dirinya. Bella hanya dapat tersenyum dan mengangguk, dia juga tak mungkin membantah ucapan Ava.

Ava perempuan dan dia juga perempuan, Ava saat ini seorang ibu berarti Bella nanti juga akan menjadi seorang ibu. Jika saat ini Bella membantah ataupun membentak Ava, sudah bisa di pastikan anaknya akan menurun. Maka dari itu Bella selalu berlaku baik pada siapapun, dia tak mau anaknya nanti menurun sifat jeleknya.

Sweet householdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang