Tahun 2003
Lingga remaja tidak mengenal siapa pun di Rumah Besar Adhiwangsa, tempat kedua orang tuanya bekerja.
Tidak juga mengenal Pekerja Rumah Tangga yang lain walau sudah berulang kali ia jumpai.Lingga hanya tertarik dengan satu anak laki-laki yang sepertinya memiliki usia yang tak ada bedanya dengan usianya sekarang.
Seorang anak laki-laki yang memiliki sebuah kebiasaan tersenyum sangat lebar kepadanya, walau mereka belum saling mengenal. Bahkan anak laki-laki tersebut dengan tanpa canggung melambaikan sebelah tangannya ketika mereka tak sengaja berjumpa, atau berselisih waktu saat Lingga harus pulang dari Rumah Besar persis ketika anak laki-laki itu baru saja pulang dari sekolahnya.Hingga suatu hari, Lingga mendapatkan satu kesempatan.
Ia melangkah lebih dekat ke arah anak laki-laki yang ia yakini sebagai salah satu anggota keluarga di sana.
Dengan begitu percaya diri, Lingga mengangsurkan sebelah tangannya begitu saja. Meminta berkenalan, sembari menyebutkan nama lengkapnya, juga tak ketinggalan dengan usianya.
"Namaku Lingga Nareswara, usiaku 12 Tahun."
Yang diajak berkenalan kemudian bangkit dari posisinya yang tadi setengah berjongkok, karena membersihkan sepatunya yang berwarna putih dari serpihan tanah merah lapangan yang terletak di belakang rumah mewah itu.
Anak laki-laki itu terlihat mengibaskan kedua telapak tangannya pada permukaan celana sekolah yang juga berwarna putih, setelah sempat melepaskan bola basketnya begitu saja.
Ia kembali tersenyum sangat lebar. Mungkin karena menyenangi acara perkenalan mereka yang tak terduga sama sekali.Memiliki teman baru adalah satu hal yang menyenangkan, pikir anak laki-laki tersebut.
Apalagi seorang teman yang bisa ia temui hampir setiap hari seperti ini."Aji, 14 Tahun."
Lingga mengatubkan kedua mulutnya begitu lucu. Menyadari kelancangannya padahal yang ia ajak berteman notabene memiliki usia lebih tua darinya, walau hanya 2 tahun.
Tak begitu jauh."Kak Aji tinggal di sini?" Tanya Lingga tanpa malu-malu membuka percakapan mereka siang ini.
Aji menganggukkan kepalanya bersemangat. "Kamu anaknya Om Dirga dan Tante Rini, kan?"
Giliran Lingga yang menganggukkan kepalanya, namun kali ini terlihat begitu antusias dan menggemaskan.
Setidaknya begitu lah yang terlihat oleh kedua mata Aji."Aku punya Adik, seumuran denganmu. Namanya Lintang—"
"Mas Ajiii..! Dipanggil Bundaaa...!"
Kedua kepala milik Aji dan Lingga menoleh bersamaan.
"Iya! Sebentar lagi aku masuk!" Sahut Aji dengan suaranya yang memekakkan telinga. Terbukti Lingga tampak mengernyitkan dahinya karena telinganya yang sedikit pengang akibat suara keras teman barunya itu.
Wajah Lingga yang tadinya ceria berubah menjadi masam. Entah mengapa ia sedikit keberatan dengan sesuatu yang seolah sengaja sekali mengganggu waktunya dan Aji yang baru saja tercipta untuk beberapa menit yang lalu.
Aji menunjuk seseorang yang tadi meneriakinya. "Itu yang namanya Lintang. Kamu sudah kenal?"
"Belum..." Kata Lingga. "Aku enggak kenal siapa-siapa di sini."
"Berarti kamu baru kenal denganku aja?"
Lingga menganggukkan kepalanya, "iya."
Aji tersenyum lagi. Ia bukan anak yang dapat dibilang ramah, namun hari ini ia sudah tersenyum lebih dari satu kali hanya karena perkenalannya dengan Lingga.
"Kamu mau ikut aku masuk ke dalam?"Lingga tertegun tak langsung menjawab. Bukan ia tidak mau, namun Ayah dan Ibu-nya berpesan kalau ia tidak boleh ke mana-mana. Apalagi masuk seenaknya ke dalam Rumah Besar Adhiwangsa. Tentu ia tidak berencana menjadi anak yang tidak patuh mengingat kedua orang tua-nya hanya salah dua Pekerja di sini, itu artinya sama dengan Lingga tentu tak boleh bersikap lancang.
"Enggak apa-apa, nanti aku minta izin sama Bunda supaya kamu boleh masuk ke dalam rumah." Bujuk Aji seolah mengetahui tentang sesuatu yang tengah Lingga pikirkan di dalam hatinya.
"Enggak apa-apa, Kak, aku di sini aja." Tolak Lingga halus.
Kedua bahu Aji mengendur. Ia tidak suka dengan penolakan yang Lingga berikan. Sedikit kecewa namun ia mencoba mengerti. Lagipula rumahnya sedikit ramai karena para kerabat jauh sedang berkumpul menyambut sang Ibunda yang baru saja pulang dari Rumah Sakit, setelah menginap hampir satu bulan lamanya karena mengidap suatu penyakit kronis.
"Besok kamu ke sini lagi?"
Lagi?
Berarti Aji menyadari kehadirannya jauh sebelum ini?
Apakah Aji juga menyadari gerak-geriknya yang mencurigakan?
Mengingat kebiasaannya menonton Aji yang tengah bermain basket setiap sepulang sekolah, walau dari kejauhan dan terkadang sembunyi-sembunyi karena teriknya panas matahari.
"Iya."
"Oke!"
Dan lagi-lagi...
"Mas Ajiii...!"
Aji memutar bola matanya sebal. Ia mendecihkan lidahnya tidak suka. Dan kembali menjawab teriakan Lintang, kali ini dengan intonasinya yang kesal. "Iya! Berisik, nih!"
Setelah Aji berhasil meredakan air mukanya yang keberatan, ia kembali menolehkan kepalanya ke arah Lingga untuk berpamitan sekali lagi. "Aku masuk dulu, Lingga."
"Oke, Kak." Lingga berusaha memberikan senyuman terbaiknya walau harus menghadapi sebuah kenyataan bahwa ia akan kembali seorang diri hingga nanti sore.
Aji mengambil bola basket yang sempat ia lupakan keberadaannya. Seolah tidak ingin kehilangan waktunya dengan Lingga, ia melangkah menjauh dengan gerakan mundur.
Kemudian ia kembali berucap, "jangan panggil Kak," katanya. "Aku enggak begitu terbiasa.""Kalau begitu??" Lingga menaikkan nada suaranya mengingat Aji sudah lebih jauh berjalan, khawatir kalau-kalau Aji tidak mendengar pertanyaannya.
"Panggil Mas Aji seperti yang lain!" Seru Aji lalu melesat pergi dengan berlari, menghampiri Lintang yang tengah menunggu, dan langsung masuk ke dalam rumah dengan kecepatan penuh.
"Mas Aji?"
Lingga kembali tersenyum.
Mas Aji... Oke...
*
*
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Glimpse of Heaven : Passé - Koo Junhoe & Kim Jiwon [Completed]
Fanfiction(2) "Kita berpikir sudah baik, tapi Tuhan belum tentu beranggapan demikian, Mas..." "Maksudnya, Lingga?" "Aku mencintai Seseorang yang enggak balas mencintaiku..." Laki-laki manis itu terdiam sebentar, jantungnya seperti ingin meloncat dari tempatn...