Arsa menundukkan kepalanya sebatas setir mobil. Mencari celah mengintip interaksi Aji dan Lingga yang sudah berdiri tepat di depan pintu masuk rumah Lingga yang sederhana namun memiliki dua lantai.
Keduanya terlihat bercakap-cakap sebentar, Aji yang sepertinya mengoceh panjang lebar, karena sepenglihatan kedua mata Arsa, Lingga lah yang lebih banyak mengangguk-anggukkan kepalanya, sesekali menggeleng, lalu menyahut tipis saja.
Arsa menarik nafasnya dalam-dalam, sambil sesekali membuka ponsel lipat kecilnya yang bergetar lalu membalas pesan pendek yang Dea kirimkan, dan berdo'a semoga pulsanya tidak habis di saat Kekasih-nya itu agak mengambek karena harus melewatkan janji jemput mereka sore ini. Untungnya Dea bukan seorang pacar yang rewel, karena setelah Arsa menjelaskan situasi Aji dan Lingga yang harus melibatkan dirinya sedikit, Dea langsung meneleponnya hanya untuk menanyakan bagaimana keadaan Lingga saat ini.
Tampak Aji mengendurkan kedua bahunya yang masih sedikit tegang, Lingga tersenyum manis walau sangat sendu, dan Arsa dapat mengambil kesimpulan bahwa segalanya baik-baik saja, setidaknya di antara sepasang itu.
Aji menjauh dari hadapan Lingga setelah ia menyempatkan membelai lembut rambut Lingga dan mengusaknya sedikit. Tubuhnya berbalik menuju mobil Arsa yang terparkir tidak jauh dari bibir tangga teras, dengan kedua mata Lingga masih memandang lekat-lekat ke arah punggung Aji.
Arsa membuka jendela mobilnya dan melambaikan sebelah tangannya kepada Lingga sebagai tanda bahwa dirinya juga harus pamit bersama Aji, dan Lingga membalasnya dengan gestur serupa walau tidak bersemangat seperti Arsa.
Kepala Arsa lalu menoleh ke arah Aji yang sudah mengeratkan seat belt agar mereka dapat segera pulang, hari sudah lewat maghrib, "sorry, lo jadi enggak bisa jemput Dea, Sa..."
"Enggak apa-apa, Am. Dea ngerti, kok."
Arsa mulai melajukan kendaraannya ketika mereka pastikan bahwa Lingga sudah masuk ke dalam rumah dengan aman.
"Dari awal gue tau Lingga, gue pernah nanya ke lo kan, Am?"
"Tanya apa?"
"Lingga siapa?"
Aji mengganggukkan kepalanya, "anaknya Om Dirga dan Tante Asmarini, Karyawan di rumah."
Arsa tersenyum saja, "bukan itu..." Katanya. "Masa iya mesti gue tegesin?"
"Lo liatnya?"
Arsa berpikir sebentar, "lo terlalu peduli untuk sebatas teman."
Teman...
"Juga terlalu peduli untuk sebatas anak dari karyawan rumah." Arsa menaikkan kedua bahunya, "tapi, ya...kalau memang cuma itu kenyataannya, enggak ada salahnya juga."
"Lo tau, Sa...?"
Arsa menolehkan kepalanya ke arah Aji yang menggantungkan pertanyaannya.
"Gue takut meng-klaim sesuatu atas milik gue, karena yang udah-udah gue seperti enggak diperkenankan memiliki sesuatu."
"Termasuk Lingga?"
Aji menganggukkan kepalanya lagi, kali ini gerakannya lebih pelan. "Gue takut suatu saat akan ada orang lain yang rampas, dan akhirnya gue harus berakhir dengan enggak memiliki apa-apa."
Cukup Bunda aja, jangan Lingga lagi...
"Lagian Lingga masih kecil, gue pun."
"Jangan ngomong gitu, dong... Gue kayak berdosa banget ini udah macarin Dea..." Jawab Arsa dengan wajahnya yang memelas, membuat Aji terpingkal-pingkal.
"Tapi, Sa, apa yang buat lo macarin Dea dulu?" Aji kembali bertanya.
Wajah Arsa yang tadinya terlihat sangat konyol, kini berubah menjadi sangat lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glimpse of Heaven : Passé - Koo Junhoe & Kim Jiwon [Completed]
Fanfiction(2) "Kita berpikir sudah baik, tapi Tuhan belum tentu beranggapan demikian, Mas..." "Maksudnya, Lingga?" "Aku mencintai Seseorang yang enggak balas mencintaiku..." Laki-laki manis itu terdiam sebentar, jantungnya seperti ingin meloncat dari tempatn...