You've Got a Way - Shania Twain
Bohong kalau ku bilang aku enggak kepikiran kejadian di Ubud kemarin. Tapi terasa kurang tepat juga kalau ku bilang aku sakit hati, karena pada kenyataannya enggak begitu.
Aku malah terkesan dengan segala ucapan dan perspektif yang dicurahkan oleh Lintang, dan tiba-tiba saja khawatir dengan masa depan Adhiwangsa kalau kelak aku yang benar-benar menjadi Penerus.
Seorang Pebisnis memang seharusnya memiliki tangan dingin dan mampu berpikir secara rasional, enggak sepertiku yang sedikit-sedikit melibatkan emosi. Kelemahanku, memang. Memikirkan keadaan orang lain dan apa akibatnya dari segala tindakanku, sedangkan Pebisnis enggak boleh terus-terusan bersikap seperti itu.
Dan Lintang memilikinya.
Ini membuatku kembali teringat cita-citaku lagi.
Cita-cita yang coba ku hilangkan seiring dengan hatiku yang mulai menerima kepergian Bunda.
Aku harus berguna, sekali ini saja.
Aku ingin berguna, seenggaknya sebagai seorang anak pertama untuk satu-satunya orang tua-ku yang tersisa yaitu Ayah.
Aku enggak bisa membayangkan apabila Ayah kecewa denganku nantinya, kalau aku memutuskan enggak menuruti keinginan Bunda.
"Mas..."
Lamunanku seketika buyar saat Lingga hadir di hadapanku, dengan kedua tangannya terlipat memeluk sebuah buku tebal dan beberapa lembar kertas mirip brosur Universitas. Kami memang membuat janji temu di sini, di halaman belakang, tempat di mana biasanya aku menyisihkan waktuku untuk Lingga yang seharusnya ku gunakan untuk membuat tugas kuliah dan belajar mengurusi Adhiwangsa.
Lingga baru selesai merundingkan sesuatu dengan Ayah terkait Universitas yang akan dipilihnya untuk melanjutkan Pendidikan. Wajahnya begitu bersemangat, aku enggak pernah melihat wajah Lingga berseri sampai seperti ini. Mungkin akhirnya Lingga mampu mengutarakan apa keinginannya kepada Beliau.
"Jadi...?" Lingga belum sepenuhnya menyamankan tubuhnya di atas kursi yang terletak di sampingku, tapi aku sudah menagih ceritanya dengan enggak sabaran.
Salah satu ritual kami setelah Lingga menetap di Rumah Besar. Akan terasa ada yang kurang untukku memutuskan bergegas tidur tanpa bertanya bagaimana harinya, perasaannya, apakah ada sesuatu yang mengganggunya, dan lain-lain terlebih dahulu.
Aku seolah memiliki lebih dari sekedar tanggung jawab atas Lingga di samping memang memiliki perasaan yang enggak bisa disebut biasa.
Aku mencintai Lingga entah bagaimana perasaanku akan berakhir nantinya, semenjak Ayah mengangkatnya menjadi bagian dari Adhiwangsa.
Lingga menyerahkan sebuah brosur salah satu Universitas Tanah Air yang namanya enggak familiar di lidah dan mataku, membuatku berkali-kali membaca nama Universitas tersebut, sebelum akhirnya aku menyadari sesuatu.
"Jadi??" Tanyaku sekali lagi kali ini dengan intonasi enggak percaya dan seolah meminta Lingga cepat-cepat bercerita.
"Aku menyerahkan beberapa lembar hasil print Bank tempat Ayah menabung untuk Sekolah-ku waktu Beliau masih hidup," Lingga memulai ceritanya. "Lalu tadi, aku bilang ke Ayah apa cita-citaku, apa yang aku inginkan ke depannya dan meminta restu. Dan sekalian...apa ya, bahasanya?" Lingga berpikir sebentar, "aku memilih kata-kata seperti ini, 'Lingga minta tolong Ayah mau penuhi kekurangan yang Lingga miliki karena Lingga enggak bisa hanya dengan ini.' " Lingga menunjuk beberapa lembar print Bank tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glimpse of Heaven : Passé - Koo Junhoe & Kim Jiwon [Completed]
Fiksi Penggemar(2) "Kita berpikir sudah baik, tapi Tuhan belum tentu beranggapan demikian, Mas..." "Maksudnya, Lingga?" "Aku mencintai Seseorang yang enggak balas mencintaiku..." Laki-laki manis itu terdiam sebentar, jantungnya seperti ingin meloncat dari tempatn...