Thousands Miles

140 20 6
                                    

"Seenggak dekatnya aku dengan Bunda, aku enggak pernah berani membayangkan Beliau akan kecewa menghadapi keputusanku kemarin. Prasangkaku buruk memang, kalau masih membayangkan yang seperti itu terlebih kepada Bunda yang udah enggak ada." 

"Mas masih sering merasa bersalah?"

"Malah ketambahan Lintang, mau bagaimana pun dia senang bukan main karena akhirnya Adhiwangsa akan menjadi alih-nya nanti, bohong kalau ku bilang aku udah enggak mikirin itu."

"Tapi seenggaknya Mas enggak perlu pura-pura lagi sekarang, kan...?"

"Pura-pura?"

"Pura-pura bahagia, pura-pura terima, pura-pura menginginkan sesuatu yang bukan keinginan Mas..."

"Pura-pura..."

"Pura-pura enggak menyukaiku, contoh yang paling mudah."

"Itu termasuk, ya?"

"Iya, lah! Pake nanya!"

Tok! Tok! Tok!

Sebuah ketukan mengaburkan ingatan Aji tentang percakapannya bersama Lingga tadi siang ketika menjenguk makam orang tua mereka.

"Mas Aji?"

Tampak Tuan Jayeng melongokkan kepalanya di antara daun pintu kamar tidur Aji yang sedikit terbuka demi melihat bagaimana persiapan Anak Sulung-nya itu. Lalu Beliau mendapati isi ruangan tersebut sudah setengahnya berpindah ke dalam beberapa suitcase berwarna hitam yang masih berusaha dirapikan oleh si Pemilik.

Pakaian, sepatu, tidak ketinggalan buku-buku yang seharusnya terpajang di atas sebuah rak buku kini sudah tak ada lagi penghuninya.

Hampir kosong.

Aji baru akan berangkat besok siang, tapi kesunyian sudah mulai melandanya sejak kemarin. Namun terlihat lemah di hadapan buah hati-nya bukan lah sesuatu yang bijak untuk Beliau lakukan, maka Tuan Jayeng akan berusaha tegar untuk kali ini.

Rumah mereka sudah sepi karena ditinggalkan selamanya oleh salah satu Tuan-nya, dan akan lebih sepi lagi daripada itu.

Tuan Jayeng mendudukkan tubuhnya di atas sofa, sebelah tangannya tengah membawa beberapa berkas yang akan diperlihatkannya kepada Aji dan Lingga.

"Ini apa, Yah?" Aji menyambut sebuah berkas berwarna biru yang diangsurkan sang Ayah.

"Salah satu Ruko yang ada di distrik 10, kemarin enggak sengaja Ayah temukan waktu main-main ke arah Selatan untuk melihat lahan pembangunan Mall."

"Ruko? Untuk?"

"Setelah Lingga lulus, Ayah berencana untuk membuatkan sebuah Butik, itu juga kalau Lingga terima. Kamu tau terkadang Lingga masih suka enggak enakan dengan kita. Jadi Ayah harus minta persetujuan Lingga lebih dulu."

"Butik?" Kedua mata Aji yang tadinya sempat lelah karena sudah mulai mengantuk kembali terang. 

"Ayah mau minta pendapatmu dulu, apakah bagus? Atau letaknya kurang strategis?"

"Distrik 10 kawasan ramai, Yah, harusnya bagus. Ayah butuh Mas cari tau dulu, atau bagaimana?"

"Coba nanti Ayah minta tolong sama team Surveyor untuk cek ke sana." Tuan Jayeng lalu membalikkan lembar pertama dan terlihat beberapa design layout yang ternyata sudah Beliau persiapkan pada lembar kedua dan seterusnya, padahal bangunan tersebut belum tentu cocok dengan kualifikasi yang Beliau inginkan.

Tapi daripada itu, Aji lebih tertarik tentang mengapa Ayah-nya malah bertanya kepadanya yang jelas-jelas tidak begitu paham mengenai ini. Beliau masih bisa bertanya kepada Lintang yang lebih ahli walau memang masih dalam tahap belajar. Namun bukannya jauh lebih tepat daripada kepadanya seperti ini?

Glimpse of Heaven : Passé - Koo Junhoe & Kim Jiwon [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang