Delapan

29 15 10
                                    

"Ada hal yang lebih indah daripada memikirkan soal cinta yang mungkin tidak akan pernah ada akhirnya. Kalian tahu, apa itu? Tentu tidak. Namun, bagi gadis sepertiku yang hanya berasal dari keluarga sederhana! Sangat tidak memungkinkan untuk terus berhadapan dan mengharap dia akan menjadi milik kita seutuhnya, lantas apa sih hal yang lebih indah daripada cinta?" gumam Cahaya seorang diri. Di tengah derasnya badai hujan siang menuju sore kala itu. 

Entah mengapa, Cahaya merasa bahwa hujan kali ini terasa sangat berbeda dan bukan dari seperti  biasanya. Di setiap rintiknya ada rindu yang menggebu, pada dia sekarang tak tahu sedang apa? 

"Hal lebih yang lebih indah daripada cinta adalah bagaimana caranya membuat keluarga dan masa depan kita cerah, secerah pelangi yang datang setelah hujan. Indah nan cantik! Tapi, aku bingung, aku seperti kehilangan cahaya dalam diriku ini. Tuhan, andai saja dia ada saat ini," ucapnya pelan. 

Sore itu, sepulang sekolah dia berjalan seorang diri di tengah guyuran hujan. Semakin lama hujan tersebut semakin deras, terpaksa Cahaya harus berjalan kaki dari sekolah menuju ke rumah. Karena tak mungkin dia terus menunggu di depan gerbang  seorang diri.  Sepanjang jalan, dia terus memikirkan cara agar dapat membawa sang ayah untuk periksa lagi ke dokter. 

Namun, di sisi lain. Dia pun penasaran pada masa lalu sang pujaannya. Pun, tidak lupa dalam hatinya dia terus berdoa berharap dia datang membawanya agar tak terkena hujan. 

"Hah, ini siapa yang be-beri payung?" gumam Cahaya. Nada suaranya sengaja di pelankan. 

Tepat di tengah jalan dekat sebuah toko kelontong, 2 meter menuju ke rumahnya. Dia dikejutkan oleh seseorang yang berdiri di belakang, langkahnya terhenti dan dia menoleh ke belakang. Inikah yang dinamakan jodoh? Tuhan ternyata telah mendengar doa-doaku, batinnya berbisik. 

"Bi-Bi-Bintang, lo ngapain di sin---" 

"Kenapa hujan-hujanan? Apa gak ada alasan untuk kamu nunggu hujan reda? Kalo sakit, gimana? Siapa yang khawatir, aku lah," potongnya cepat. Rona wajahnya tak seperti biasa, bahkan kini seorang Bintang memanggil 'Aku-Kamu'. Berbagai macam pertanyaan dia berikan pada Cahaya, sehingga membuat gadis itu terpukau. 

"I-itu tadi, jadi gue- eh aku, aduh," gerutu Cahaya terbata-bata. Dia bingung harus memanggil dirinya apaan, antara aku atau gue? Jelas, panggilan Bintang membuat jantungnya berdebar tak menentu. Bibirnya kelu, seakan-akan ada sesuatu yang menghalanginya. 

Ayah, kenapa Cahaya jadi gagap begini, ya? Ah, keluhnya. "Kok manggilnya aku kamu si? Tumben, biasanya gue elu?" tanya Cahaya. 

"Neng Cahaya, ya ampun. Neng, jangan ujan-ujanan napa!" teriak seseorang dari arah seberang. Perempuan tua pemilik toko kelontong yang biasa sering dikunjungi oleh Cahaya bahkan gadis itu sudah dianggap seperti anaknya sendiri, meneriakinya dan meminta supaya segera berteduh. 

"Aku nanya kenapa malah bengong sih?" Bintang berusaha membuyarkan lamunan Cahaya, gadis itu terus menatapnya seraya tersenyum. 

"Emang nanya apa---" 

"Awas!!" teriak Bintang mendorong Cahaya yang hampir terserempet mobil. 

"Woy! Kalo mau pacaran, jangan di tengah jalan begini. Lo pada mau mati?!" Seseorang mengucapkan sesuatu dari dalam mobil dan Bintang meminta maaf pada si pemilik mobil.

"Lain kali, hati-hati dong!" ketusnya. 

Akan tetapi, gadis itu malah melemparkan senyumnya tak lama setelah itu dia kembali menatap Bintang. "Boleh aku katakan sesuatu lagi?" Dia seolah-olah  tak bosan bertanya pada Cahaya, meski dia tahu pertanyaan beberapa menit lalu belum sempat terjawab oleh Cahaya. Semakin lama perbincangannya pun cukup serius, malah terkesan seperti orang pacaran. 

Cahaya & Bintang  [ Telah Terbit☑ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang