Dua Puluh Empat

11 5 3
                                    

|| Kita ada di dunia ini karena orang tua. Kita hidup di dunia ini dengan kasih sayang mereka. Lalu, bagaimana jika mereka justru meninggalkan kita terlebih dahulu? Sanggupkah kita melewati kerasnya kehidupan ini? ||

Sekeras-kerasnya batu, pasti akan tembus oleh tetesan hujan. Begitu pun dengan hati. Bintang yang dulunya terkenal dingin, arogan, dan memiliki sifat kejam sekarang telah berubah. Luka hati yang selama ini dia simpan dalam-dalam perlahan telah memudar. Itu semua karena seorang anak, Cahaya. Bintang kini telah bersatu dengan ibunya. Karena Cahaya pula, Bintang sudah mau menerima kehadiran malaikat tak bersayapnya.

Bintang bersyukur dengan keadaan keluarganya yang perlahan membaik. Raut wajahnya berseri-seri, doa serta harapan dia limpahkan kepada sang pemilik bumi. Namun, dibalik kebahagiaan yang kini menyelimuti hati dia  saat ini. Sebuah kehampaan merasuki sukmanya. 

"Sampai kapan, ya gue bisa begini terus? Argh, kenapa sih gue susah mulu minta balikan sama dia? Padahal semalem dia ci … au ah," gumamnya seorang diri, lantas dia berdiri dan bangun dari tidurnya sembari berdecak sebal. 

Selesai mandi, memakai seragam sekolah, kemudian sarapan pagi dengan ditemani oleh mami dan papi tercinta. Bintang melahap semua makanan yang berada di atas meja. Entah lapar, atau memang sedang merasakan kekesalan terhadap dirinya sendiri. Tak ada yang tahu. Meskipun semua makanan dilahap olehnya, tetapi rasa khawatir yang sedari tadi  melingkupi perasaan belum juga sirna. 

Usai sarapan, dia pamit sambil mencium punggung tangan kedua orang tuanya dan meminta doa berharap segala permasalahan dan hari-harinya dapat berjalan lancar. Diandra dan sang suami tak luput mendoakan putra tercinta, meski mereka berdua belum sepenuhnya berbaikan, tetapi Diandra  berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Saling sapa walau sinar di matanya menyimpan kekesalan. 

Langit terlihat sedikit cerah, Bintang menjalankan motornya menuju sekolah SMA Persada Cemerlang. Usai memakai helm, dia menganggukkan seraya tersenyum kepada kedua orang tuanya. Sementara itu, Diandra merasa bersyukur karena putra semata wayang yang dulu membencinya habis-habisan, sekarang mau menerima dan memaafkan segala kesalahannya. 

Sepanjang perjalanan hingga tiba di depan halaman sekolah, hati dan pikiran Bintang selalu dipenuhi dengan sesosok gadis. Siapa lagi kalau bukan, Cahaya Mentari. Gadis yang membuat perasaan Bintang gundah gulana. 

Kedua temannya Dimas dan Jo menghampirinya, kala dia hendak ke kelas. Akhirnya, mereka bertiga sama-sama masuk bersamaan. Di sela-sela keheningan menuju kelas XII, sesekali Jo mencoba menggoda Bintang dengan cara mengungkit-ngungkit kejadian malam itu. Malam di mana Cahaya mempersatukan Bintang dan sang ibu. Tidak hanya itu saja, saat Bintang berpapasan dengan Cassandra serta anak-anak lainnya. Dia hanya menatapnya dingin. 

"Bin, gimana? Sama si Cahaya? Kapan dong, lo berani ungkapin perasaan lo lagi? Oh ya, malam itu lo berdua ciuman, ya? Eh, gak sengaja maksudnya?" tanya Jo. Jo terus mendesak Bintang, pemuda berambut lurus sedikit tampan ini belum bisa menerima kalau rasa penasaran yang ada dalam hatinya belum terjawab. 

"Eh, Marpuah! Dari mana lo tau kalau gue sama dia gituan? Gue gak sengaja. Awas aja kalau sampe semua anak tau, itu semua gara-gara lo!" Bintang mengancam Jo, dia menjitak kepala temannya dengan beberapa kali dan diakhiri dengan pukulan pelan. 

"Jir, gila! Gitu aja kok ngambek, kek cewek lo! Percuma lo ancam gue, karena anak-anak dah pada tahu, lo sama Cahaya gituan," jawab Jo seraya mengusap-ngusap kepalanya. 

"Tuh anak, ya. Gue kira dia polos ternyata, ckk …." 

Mendengar perdebatan ringan antara kedua sahabatnya itu, Dimas tertawa terbahak-bahak. Diam-diam Dimas pergi meninggalkan Bintang dan Jo, kala melihat seorang bidadarinya datang dari atas tangga. Lah, bidadari? Siapakah bidadarinya Dimas? Apakah Cahaya? Atau adakah yang lain?

Cahaya & Bintang  [ Telah Terbit☑ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang