|| Entah, aku bingung pada hati ini. Marah? Tapi, ingin bersamanya. Kecewa? Memang, tapi sangat sulit meninggalkannya. ||
Kecewa boleh dan itu hal yang wajar. Setiap perempuan pasti akan merasakannya, apalagi ketika seseorang yang kita sayangi menjanjikan sesuatu, tapi ia sendiri mengingkarinya dan Cahaya mengalami hal tersebut. Menurutnya, ia tak berhak kesal atau marah pada Bintang. Mengingat dia telah membantunya membayar biaya operasi ayah.Lagian wajar saja jika Bintang lebih memilih jalan berdua bersama Cassandra, perempuan yang jelas sederajat dengannya dibandingkan dirinya sendiri. Namun, Cahaya yakin suatu saat nanti jika mereka berjodoh, Tuhan akan memberikan jalan terindah untuknya, dan itu pasti.
Cahaya akhirnya kembali menjalani aktivitas sebagai siswa di SMA Persada Cemerlang, setelah lamanya ia izin mengurus ayahnya berobat hingga sampai saat keadaan mulai membaik. Ia sengaja membawa ayah ke sekolah menggunakan kursi roda. Ya, kalian tahu? Di dunia ini masih ada orang yang baik terhadapnya.
Tetangga Cahaya membelikan kursi roda untuk ayahnya, selain itu juga gadis itu di beri hadiah sepeda cantik berwarna merah jambu. Entah dalam rangka apa, tetangganya memberikan begitu banyak kejutan itu.
Gadis itu semakin bersinar, semangatnya menggelora ketika tiba di depan gerbang sekolah.
"Ayah, pas Cahaya masuk kelas, Ayah mau tunggu di mana?" tanya Cahaya. Sedikit berjongkok.
"Ayah tunggu di kantin sekolah aja, ya, Nak!" jawabnya, kemudian ia mengecup kening Cahaya.
"Baiklah, Ayah. Sekarang kita ke kantin dulu, ya! Abis itu, Cahaya masuk kelas."
Ayah Cahaya mengangguk, ia pun kembali mendorong kursi rodanya. Setiba di kantin, Cahaya menitipkan ayah pada Bi Siti, pedagang di sana. Alhamdulilah, bersyukur Bi Siti menerimanya dengan lapang dada. Bahkan ia menyambut ayah Cahaya bersama senyuman yang mengambang di wajah keriputnya.
Setelah memastikan sang ayah aman berada di kantin, Cahaya melanjutkan kembali perjalananya menuju ke kelas. Sebelum masuk kelas, ia mampir terlebih dahulu di Lapangan. Menikmati setiap kenangan kala pertama mengenal sosok Bintang meski sudah hampir 3 tahun sekolah di sana.
Di sana anak-anak cowok sibuk main basket, ada pula yang hanya berlari-lari kecil, pun sekedar jalan-jalan biasa. "Tiga hari gak masuk rasanya seperti tiga tahun gak sekolah, Lapangan ini seketika mengingatkan gue pas di hukum sama dia. Hm, apa kabar dia sekarang, ya?" pikirnya sendiri.
Kala tengah asyik melihat orang-orang keliling di lapangan sambil tertawa renyah, manik hitamnya mengarah pada seorang pria sedang duduk di kursi penonton. Tempat bagi para anak-anak perempuan atau siapa saja yang ingin menonton sepak bola, basket atau lomba lainnya.
"Hai," sapanya.
Pria itu mendongakkan kepalanya, dugaan Cahaya ternyata tidak salah. Pria yang duduk di sana adalah Bintang. "Ikut gue, yuk?" ajaknya.
"Ke mana?" tanya Bintang datar. "Bukannya lo ngambek, ya, gara-gara kemaren gue batal ngajak lo jalan?" sambungnya lagi.
"Udah santai aja, pokoknya gue tunggu lo nanti setelah istirahat di tempat biasa!" perintahnya. Gegas Cahaya bangkit dan meninggalkan Bintang sendiri di sana.
"Idih, ngajak sekarang, tapi ketemunya nanti abis istirahat? Enggak salah tuh," sindir Bintang. Pria itu pun mengikuti Cahaya dari belakang.
"Eh iya, lupa," gumamnya sambil menepuk-nepuk jidatnya sendiri.
Pukul tujuh pagi bel berbunyi. Semua murid menuju kelas masing-masing. Tak terkecuali dengan Cahaya, gadis berambut sebahu itu berlari secepat mungkin dari lapangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya & Bintang [ Telah Terbit☑ ]
Teen FictionJadwal Update Ceritanya; Senin & Rabu, ya, Ges 🥰 ~~~ Kehidupan Cahaya tak pernah berjalan mulus. Anak pedagang sayur keliling yang mengambil alih tanggung jawab pasca Sang ayah mengalami kecelakaan. Bertemu dengan cowok sedingin salju, membuat se...