Lima

30 13 6
                                    

|| Satu hal yang paling aku benci adalah menunggu. Menunggu kamu yang bahkan entah akan datang atau tidak. || 

~  Cahaya Mentari  ~ 

Demi mencari uang untuk sang ayah tercinta agar bisa berobat, Cahaya rela meminta izin tidak masuk sekolah selama tiga hari. Gadis itu merawat ayahnya dengan penuh kasih sayang, tanpa sekali pun mengeluh. 

Ia melihat jam di tangannya  sudah menunjuk ke angka setengah dua belas. Cahaya menghentikan gerobaknya di dekat masjid, di jalan Cendana.  Sambil menunggu azan duhur berkumandang, ia meneguk air putih dari botol minumannya. Sesekali, beberapa warga menyapanya. 

Bertanya mengapa seorang gadis sepertinya sudi mendorong gerobak sayur di tengah terik matahari? Satu kalimat yang ia katakan adalah, "Cahaya lakukan ini semua untuk ayah." Bersama senyuman yang tak pernah luntur dari sudut bibirnya.

 Beberapa jenak kemudian, ia merasakan seseorang memegang pundaknya begitu selesai menghabiskan sebotol minumannya. Saking paniknya, dia mengira bahwa seseorang yang memegang pundaknya itu adalah orang yang akan berniat jahat terhadapnya. Lantas, ia menarik tangannya kemudian memelintirkannya dengan sekuat tenaga. 

"Aaww- aw, sakit," rintih Bintang. 

"Bi-Bi-Bintang, Lo ngapain ada di sini? Bukannya ini masih jam sekolah, maaaf, gue pikir siapa," tanya Cahaya terbata-bata. Ia melepaskan tangan Bintang dan kembali duduk. 

"Buba-bibi, apaan. Emang gue babu lo? Gue bolos karena … pengen nyari lo," jawabnya.

"Apa? Sekali lagi dong, gak kedengeran. Lo bolos cuma buat cari gue, Cahaya? Gak salah?" tanyanya. Seketika segala kelelahan Cahaya berganti menjadi kebahagiaan yang tak terduga, ia jingkrak-jikrak di depan Bintang atas kegembiraannya hari ini. 

Terima kasih, ya Allah. Akhirnya, pelan-pelan si pria salju nyariin aku. Oh senangnya, tapi … ah, bisiknya dalam hati di tengah kebimbangannya.  Kala teringat khayalannya tentang Bintang datang kemudian menembaknya di depan semua orang. 

Pria itu pun duduk sambil menatap gadis pujaannya menari-nari di bawah sinar matahari. Namun, kebahagian hanya sesaat. Tiba-tiba Cahaya membawa gerobaknya dan pergi meninggalkan Bintang di sana. Enggak, gue gak bisa semudah itu bahagia, ceria hanya karena kedatangannya. Bisa aja, kan hari ini pura-pura baik terus nanti php-in lagi, kek kemaren, batinnya. 

"Eh-eh, Cahaya! Tunggu-tunggu, Lo mau ke mana sih?" cegah  Bintang. 

Cahaya terus mendorong gerobaknya, mengabaikan Bintang. Bukan bermaksud untuk menjauhinya, tetapi keadaan yang membuatnya harus melakukan itu. 

"Cahaya, please! Tolong dengerin gue ngomong dulu, Lo tau siapa yang bayarin operasi bokap lo? Hm … sori, gak ada niat buat ngungkit masalah itu. Cuma … cuma gue bingung harus ngomong apa sama lo," katanya. Bintang berdiri di depan gerobak milik Cahaya sambil menggaruk-garuk kepalanya sendiri. 

Sudah gue duga, Bintang lah malaikat penolong itu. Terima kasih, ya Allah, ucapnya dalam hati. "Terus, mau lo apa sih? Awas ih, gue mau jualan sayur lagi," usir Cahaya kesal, tapi dalam hati ia senang bisa melihat Bintang ada di hadapannya. Rela kabur demi dirinya. 

"Gue akan ngomong, tapi duduk dulu deh! Capek, kagak liat apa muka ganteng begini, bonyok cuma belain lo." 

"Emang siapa yang nanya, Pak?" tanya Cahaya menggoda. 

"Sssstt." 

Bintang mengajak Cahaya duduk di bawah pohon rindang, mula-mula mereka berdua terlihat gugup tak tahu apa yang akan diucapkan keduanya. Namun, seiring berjalannya waktu. Mereka pun mengungkapkan segala kegelisahannya satu sama lain. Bintang yang penasaran mengapa Cahaya tiga hari tak masuk sekolah, memberikan setumpuk pertanyaan kepada gadis itu. 

Cahaya & Bintang  [ Telah Terbit☑ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang