Dua Puluh Satu

18 7 3
                                    

|| Tetaplah memandang ke depan, selagi kita mampu melangkah. ||

Sedikit lebihnya memang Cahaya sudah berbaikan dengan Bintang. Meskipun hari ini Cahaya tidak lagi bersekolah di SMA Persada Cemerlang, hal itu tak mengubah semangatnya untuk tetap belajar sambil berjualan. Menghidupi keluarganya, dia dan sang ayah. Saat ini Cahaya perlu mengumpulkan sedikit lagi uang untuk sang ayah bisa kembali berobat. Bukan hanya itu juga sih, dia pun harus mengumpulkan uang untuk membayar tunggakan sekolah dan yang lainnya. 

Pukul setengah lima, setelah Cahaya menyiapkan nasi, serta lauk-pauk yang bisa dia olah, kemudian pergi menunaikan ibadah salat subuh. Hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit, setelah itu bersiap-siap pergi ke pasar. 

"Ayah, Cahaya pamit dulu, ya. Ayah jangan lupa buat makan sama minum obat, ya," ucap Cahaya pelan. 

Gadis itu mencium punggung tangan sang ayah. Namun, sebelum Cahaya pergi dari kamarnya. Dito menyempatkan diri bertanya padanya, kapan ujian sekolah di mulai dan bagaimana tentang pembayarannya? Akan tetapi, secepat mungkin Cahaya mengalihkan percakapan sang ayah dan memilih untuk berpamitan. 

Maaf, Ayah. Bukan maksud Cahaya gak kasih tau sama ayah. Tapi, ada hal yang lebih penting selain itu, Yah. Cahaya hanya takut, kalau nanti ayah tau, bisiknya. 

Senyum manis terlukis dari bibir  gadis itu, perlahan sinar mentari terbit dari ufuk timur mengeluarkan cahayanya. Semangat baru, kehidupan baru dia mulai. Sepanjang perjalanan dari rumah ke pasar, hingga berjualan keliling rumah-rumah sampai ke komplek sebelah. Dia selalu melafalkan doa-doa dalam hatinya. 

Beberapa anak seusianya pagi-pagi sekali sudah mulai pergi untuk sekolah, menimba ilmu. Di antara mereka, ada yang membawa mobil masing-masing, ada pula yang membawa motor. Terbersit dalam hatinya, rasa kesal, marah, iri bercampur menjadi satu. Dia tak lagi bisa bersekolah, memakai seragam seperti anak-anak yang lainnya. 

Mungkin ini takdir dari Tuhan untuk gue seperti ini. Tapi, apa boleh buat, mereka bisa sekolah aku pun harus bisa! Sekarang tujuan gue adalah, bagaimana caranya dapat menyembuhkan ayah dulu, ucapnya dalam hati. 

"Wow, itu rumah siapa? Gede banget, eh-eh, tapi itu kek Bintang di sana. Apa memang itu rumah Bintang, ya?" tanya Cahaya seorang diri. 

Dia memundurkan gerobaknya, kemudian menyimpannya di dekat pohon kamboja milik salah satu tetangga di dekat sana. Gadis itu memperhatikan keadaan di sana. Dia sangat meyakini bahwa yang sedang dilihatnya adalah kekasih hati tercinta. Cahaya baru mengetahui rumah Bintang. 

Lima menit kemudian, kendaraan roda dua yang ditumpangi oleh Bintang perlahan hilang dari pandangannya. Usai memastikan seorang pria telah pergi, lantas gadis itu mengambil gerobaknya, lalu mendorong hingga tiba di depan rumah megah bertuliskan 'Kediaman Dewa Brata'. 

Bangunan yang menjulang tinggi, berlantai dua serta dilapisi cat berwarna putih gading membuat Cahaya terpana. Halamannya pun bersih, jauh dari kata berantakan. Apalagi sampah, jelas tidak ada. Dia melihat seorang ibu-ibu termenung seorang diri di halaman rumah, dengan pintu gerbang terbuka lebar. Menjadikan Cahaya memberanikan diri untuk masuk. 

"Pernisi, Bu. Ibu mau beli sayurnya?" tanya Cahaya sedikit ragu-ragu. 

Perempuan cantik berpakaian glamour tersebut mengangkat wajahnya, dia mengusap air mata yang jatuh dari pelupuk matanya. Keningnya mengkerut, melihat seorang gadis berdiri di samping gerobak. Tak ada jawaban dari mulutnya, melainkan dia berdiri mendekati Cahaya. Sementara itu, Cahaya memundurkan langkahnya. Kepalanya tertunduk sembari memilin-milin jarinya sendiri. 

"Saya gak sopan, ya, Bu. Maen masuk aja? Ehm, ya udah kalau gitu saya izin buat pamit deh, maaf," ucap Cahaya malu-malu. 

"Tunggu, Nak!" panggil si Perempuan. 

Cahaya & Bintang  [ Telah Terbit☑ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang