Sembilan Belas

10 7 4
                                    

Seharian penuh Bintang mencari-cari Cahaya. Dia mengunjungi beberapa tempat yang ia yakini di sanalah gadis itu berada, tetapi pencarian lagi-lagi tak membuahkan hasil. Ketika hendak pulang, karena hari sudah larut malam. Bintang melihat seorang gadis yang persis seperti pujaan hatinya, padahal kenyataannya adalah orang yang dicari  berada di belakang sehingga Bintang tak melihatnya.

"Cahaya!" panggil Bintang. Lengkingan suaranya seketika membuat burung-burung di atas pohon yang tengah bersantai ria, menjadi terbang karena mendengar teriakan keras darinya. 

Dipeluknya gadis itu, kemudian hampir saja dia akan mencium keningnya. Namun, baru saja tangannya mendekap gadis tadi langsung membalikkan badannya. 

"Ada apa, Sayang?" tanyanya polos. 

Anjrit! Gue pikir Cahaya, ternyata nenek-nenek. Argh, tapi kenapa penampilannya kek anak muda? Ya Tuhan, hampir aja. Enggak sadar apa, gigi udah rontok tinggal dua masih pakai-pakaian beginian, bisik Bintang menahan amarah sekaligus kecewa. 

"Sayang, kamu cari Nenek? Sini, katanya mau peluk?"

Nenek yang dikira sebagai gadis mirip Cahaya itu mengejar-ngejar Bintang dan memintanya untuk dipeluk. Entah ini adalah hukuman dari Tuhan untuk dia atau nasibnya yang tak beruntung. 

"Sepertinya gue denger teriakan seseorang? Kek kenal gitu, siapa ya?" tanya Cahaya seorang diri. 

Netranya menatap ke sekeliling tempat itu, tapi sepi. Tidak ada satu orang pun yang melintas di sana. Jarum jam terus berputar, Cahaya mempercepat langkahnya agar bisa segera sampai ke rumah. Akhir-akhir ini, gadis itu banyak menghabiskan waktunya untuk mencari uang ketimbang belajar. Prinsipnya saat ini adalah bagaimana caranya agar sang ayah, orang yang paling dia sayangi seumur hidup bisa segera sembuh. 

Jika Dito sembuh, maka dia baru bisa tenang melakukan aktifitasnya sebagai murid SMA Persada Cemerlang. Meskipun hari-harinya dihabiskan mencari uang; berjualan sayur keliling, cuci gosok ke rumah-rumah tetangga. Cahaya tidak melupakan jika dua minggu lagi Ujian Nasional akan dimulai. 

Sesampainya di rumah, Cahaya menyempatkan diri melihat sang ayah di kamar. Dito telah tidur pulas sembari memeluk foto dirinya, lantas Cahaya tersenyum kemudian menaruh bingkainya di atas nakas. 

"Ayah. Ayah tidur yang tenang, ya. Cahaya selalu berdoa, supaya ayah segera sembuh." 

***

Berhari-hari tak ikut kegiatan belajar mengajar. Akhirnya Cahaya memutuskan berangkat ke sekolah pagi-pagi buta, dia berharap sebelum bel berbunyi nanti bisa menyempatkan diri belajar dulu di Perpustakaan. 

Makin hari, perbedaan ini semakin dirasakan oleh Cahaya dan Bintang. Ketidakbersamaannya membuat kedua insan ini merasa ada kehampaan yang melanda hati dan pikiran masing-masing. Pukul tujuh kurang dua menit, seseorang memanggil Cahaya. Meminta gadis itu segera ke ruang guru. 

Ibarat kata pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sang ayah sedang sakit keras, masalahnya bersama Bintang belum usai dan sekarang dia harus menerima kenyataan pahit jika kepala sekolah  menyatakan bahwa Cahaya tidak dapat sekolah lagi di sana. Apa alasan yang menyebabkannya sampai harus dikeluarkan? 

"Cahaya, saya bener-bener enggak menyangka perihal vidio yang beredar beberapa waktu lalu. Sebenarnya, ada beberapa hal yang harus saya  sampaikan sama kamu," katanya. Sesaat beliau menjeda ucapannya. "Pertama, bagaimana bisa kamu melakukan hal kotor seperti itu? Kalau pun memang kamu tidak punya biaya untuk berobat ayahmu, bisa kan pinjem tetangga atau gimana?" 

"Maksud Bapak apa, ya?" tanya Cahaya. Bibir gadis itu mendadak gemetar, bola matanya mulai berkaca-kaca.

"Ini tentang Vidio yang beredar, di mana kamu melakukan hal keji bersama lelaki berandal dan itu kamu lakukan di belakang masjid. Mohon maaf, Cahaya bukan maksud saya  tidak bersedia membantumu mempertahankan sekolah di sini. Saya  minta maaf, mulai hari ini kamu sudah tidak bisa sekolah lagi di sini!" terang Pak Suryo

Cahaya & Bintang  [ Telah Terbit☑ ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang