11: Big Consequences

2K 405 37
                                    

CHAPTER 11
Big Consequences

[Playlist: Kevin Oh – No More Flight]

***

Seberkas cahaya mulai menyinari ruang dalam gerbong, mengusik lelap salah seorang perempuan yang bersandar nyaman di bahu pria di sampingnya. Di depan sana stasiun tujuan telah melambai pada kereta yang melaju kian pelan. Deru mesin perlahan dimatikan, pintu-pintu kaca dibuka dan satu persatu penumpang mulai berhamburan—keluar.

Dua pasang kaki manusia berbalut boots kini kembali menapaki peron, berjalan seirama bersama pandang yang menyapu sekitar tempat mereka berada. Udara Kota Chuncheon di musim dingin begitu menelisik raga insani yang bukan penduduk asli, sebagaimana Jeffrey.

Pria itu merapatkan mantelnya, sedikit menggigil terbelai angin yang bertiup cukup kencang. Namun, sosok perempuan yang berjalan di sebelahnya seakan tak terusik. Nampak tenang menikmati sajian pemandangan serupa pepohonan rindang di tepi jalanan, pematang perkebunan yang membentang, dan tanah-tanah subur diliputi ilalang liar yang bergoyang selaras dengan arah hembusan angin.

Rosé. Mata perempuan itu menyipit bersama senyum yang menghias indah wajahnya ketika mendongak dan memandang burung beterbangan di langit abu-abu; atau ketika menyorot anak-anak kecil berseragam rapi keluar dari bus dan berlarian menuju bangunan taman kanak-kanak.

Jeffrey menjadikan sosoknya sebagai labuhan pandang sesekali di sela-sela ayunan langkah dan aksi mengamati layar ponsel. Ia tengah mencoba mencari tahu letak resort tempat mereka menginap nanti. Menurut lamat yang Alice kirim itu tidaklah jauh dari stasiun, hanya perlu sepuluh menit berjalan kaki. Namun, karena langkah Rosé yang cenderung lamban, sepertinya mereka akan tiba melebihi waktu perkiraan.

"Aaa... Sakit."

Lenguhan pelan terdengar menyeret atensi Jeffrey dan Rosé. Seorang anak kecil yang berlarian mengejar ketertinggalannya dari teman-teman tak sengaja menabrak satu sisi tungkak Jeffrey sehingga berakhir menggaduh pula meringis mengusap-usap dahinya. Tubuh mungil itu bukan apa-apa jika dibandingkan dengan figur jangkung dan kokoh Jeffrey.

"Kau baik-baik saja?"

Rosé adalah yang pertama memecah hening yang bertandang selama beberapa saat setelah bocah laki-laki di hadapannya mendongak dan memandang Jeffrey takut-takut. Tak ada jawaban, anak itu menggigit bibir bawahnya resah.

"Maaf," cicitnya begitu lirih nyaris tak terdengar.

Ucapan itu ditujukan untuk Jeffrey, dan Rosé menjadi sedikit tak enak hati ketika melihat Jeffrey yang diam tanpa ekspresi. "Ah, tidak apa-apa." Rosé memberikan senyum termanis yang ia punya, berjongkok lalu mengulurkan tangan mengusap dahi anak yang ia ketahui bernama Yoo Jinwoo dari nametag yang terpasang di seragamnya.

"Sakitnya di bagian ini, bukan?"

Anggukan pelan Jinwoo berikan pada Rosé, sedangkan pada Jeffrey, ia melirik harap-harap cemas. "T-tapi, paman ini terlihat marah." Jinwoo kembali bicara seperti membisik.

"Ah, tidak kok. Dia tidak marah. Benarkan?" Masih dengan sisa-sisa senyum di wajah, Rosé menjawab kecemasan Jinwoo seraya mendongak pada Jeffrey pula. Ia berharap kali ini Jeffrey tak diam saja atau anak itu tak akan mempercayai ucapannya barusan.

"Eum. Masuklah! Nanti kau terlambat."

Sayangnya, meski Jeffrey telah mengeluarkan suara, rautnya tak menampilkan perubahan sekecil apa pun sehingga bocah laki-laki itu nampak ragu kembali memandang Rosé. Satu senyuman Rosé berikan seraya mengusap surai cepak kecoklatan yang hampir serupa dengan miliknya.

SILHOUTTE: After A Minute [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang