23: Warmth That Melts Loneliness

1.5K 326 106
                                    

CHAPTER 23
Warmth That Melts Loneliness

[Playlist: Jung Sae Rin - Irrationality]

***

Bunyi ketukan sol sepatu beradu dengan pualam terdengar mengaung dalam koklea. Pistol berperedam baru saja terisi oleh peluru, dimainkan dengan jemari lalu diacungkan tepat pada pelipis seorang laki-laki setengah abad yang seketika membulatkan mata.

Tak terdengar suara apa-apa. Vila cukup jauh dari pemukiman masih hening sebagaimana silam. Namun, siapa sangka pemuda jangkung berpakaian serba gelap lengkap dengan topi dan masker yang menutupi sebagian wajahnya baru saja berhasil menghabisi nyawa manusia di dalam sana.

Senjata diletakan tepat di tangan laki-laki yang terkapar di ranjang bermandikan darah. Pemuda itu melangkah pergi, mengarungi jalanan sempit berdebu dengan ilalang yang membentang di kanan dan kiri. Sebuah sungai menjadi persinggahannya saat fajar menjemput. Ia duduk di atas bebatuan, membuka sarung tangan hitam lantas merobek-robek benda itu dengan sebuah pisau kecil sebelum menghanyutkannya bersama deras aliran sungai.

Pagi hari, radio taksi yang ia tumpangi menyiarkan berita mengenai seorang pejabat termasyhur pemerintah Kota Venesia baru saja bunuh diri di kediaman pribadinya. Diikuti dengan berita penggelapan dana anggaran negara oleh oknum yang sama.

Satu ransel berisi uang ratusan juta Euro ada dalam pelukan si pemuda.

Layaknya film yang berganti adegan, baku hantam terjadi cukup sengit. Sekian banyak ajudan yang tadinya berdiri gagah di depan sebuah galeri seni mengerang kesakitan. Kali ini si pemuda bersama kawanannya menembak mati keseluruhan. Berkas-berkas penting berisi catatan keuangan sebuah instansi semu digondol pergi lalu diperjualbelikan kepada para detektif swasta yang teringin naik pangkat.

Bayangan lantas berputar cepat.

Jemari menggiling biji-biji apel hingga menjadi serbuk. Menyamar sebagai bartender sebuah pesta di bar mewah, bubuk putih ditabur ke dalam gelas-gelas berisi racikan alkohol lalu dihidangkan kepada para komplotan pengedar narkotika. Keesokan harinya, semua pengunjung pesta mati mengenaskan dengan mulut penuh busa dan mata yang melotot tajam. Konon, mereka mati karena keracunan.

Seorang laki-laki duduk lemas dalam keadaan terikat di kursi, di atas ring tinju.

Pukulan demi pukulan diterimanya dari seorang pemuda atas instruksi wanita berumur yang duduk di luar ring. Erangan kesakitan berkali-kali mengudara, tak jarang mulut bengkak itu melontarkan permintaan ampun. Namun jawaban si wanita hanya satu: "Tidak ada ampun bagi tukang selingkuh sepertimu."

Satu pukulan terakhir begitu keras. Darah muncrat dan membekas pada sarung tinju si pemukul.

Suara teriakan yang mengatakan seseorang tertembak dalam toilet membuat pemuda yang berdiri di dalam sebuah bilik kian gelisah. Tangannya berupaya bergerak cepat meremukkan pistol dan memasukkannya ke dalam kloset. Berlarian dengan napas yang memburu demi menghindari kejaran orang-orang suruhan.

Petang, di mana siulan terdengar seiring dengan laju sebuah truck yang mengaluri jalanan berkelok.

Ferrari gading di pinggir danau nampak oleh mata, maka gas kendaraan kian diinjak seenaknya. Debuman benda besar masuk ke dalam air danau mengakhiri pekerjaan hina serupa mencelakai dua manusia tak berdosa.

Di kala hendak membuang buket bunga sebagai penghormatan terakhir, mata kembali disuguhi dengan pemandangan paling memilukan. Seorang perempuan bergaun putih panjang yang penuh dengan noda dan kotoran melangkah terseok. Sayup-sayup, bibir pucat nan bergetar itu mematah kalimat,

SILHOUTTE: After A Minute [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang