46: Lies Like a Time Bomb

1.4K 297 104
                                    

CHAPTER 46
Lies Like a Time Bomb

[Playlist: Chai Min Jo – SoJin Theme Cello Version]

***

Lemah sepasang tungkak menapak pada paving hunian sehabis koyak raga diturunkan dari sebuah kendaraan mewah roda empat yang kemudian melesat membelah sepi jalanan malam.

Udara dingin menelisik di antara ranting juga dedaunan, menyergap sosok berbalut kemeja tipis awutan. Kendati begitu, Jeffrey tak terburu-buru masuk menemui kehangatan rumah bersekat dinding-dinding kokoh yang menjulang. Ia hanya melangkah kelewat pelan, berdiri tak kurang dari lima detik sebelum akhirnya jemari penuh luka ia gunakan untuk mendorong gagang pintu.

Jika, senyap adalah hal pertama yang menyambut kedatangan Jeffrey setelah menghempas napas pertama di dalam sana, maka sesak adalah hal kedua ketika bayang-bayang kejadian beberapa waktu silam menyambut pusaran nalar pria itu.

Meski cucuran darah tak lagi mencoreng lantai pualam tempatnya berpijak saat ini, Jeffrey masih bisa merasakan aroma dan kepedihan serupa lalu. Ingatan Jeffrey tak melupa, atas bagaimana seorang perempuan bersimpuh dan menangis tersedu-sedu di dalam pelukannya seraya bertasbih lirih,

"Bayi kita ...."

Sore tadi, tepat ketika matahari berangkat menuju peraduan, Jeffrey tak menemukan barangkali satu tempat pun untuk mengadu perihal dirinya yang seakan ditubruk sekian banyak rasa berdosa, dicambuk rantai baja, lalu dihujani kesedihan tiada terkira.

"Nyonya Rosé kehilangan janin berusia satu bulan dalam kandungannya."

Tepat setelah kalimat itu diucap seorang dokter, Jeffrey merasakan seolah duri-duri tajam mengoyak jantungnya hebat. Kala itu, Alice yang turut serta mendengar telah menghunus Jeffrey dengan tatapan paling suram yang pernah ada. Kemarahan besar berkobar di balik matanya, tetapi Jeffrey tak peduli.

Ketahuilah, yang Jeffrey pedulikan hanya satu, sosok perempuan yang terbaring di atas ranjang bersama sorot layu. Perempuan itu memalingkan wajah tepat ketika mereka bersipandang, yang mana tak Jeffrey ketahui mengapa. Keinginan menemani Rosé berjuang di ruang operasi mau tak mau mesti Jeffrey singkirkan manakala Mingyu dengan sigap menyeret lengannya agar segera menjauh. Alhasil, gelisah yang dibalut ketenangan di muka mendiami Jeffrey enam jam lamanya sepanjang duduk menanti kuretase berakhir.

Namun, ternyata enam jam belum juga cukup membuat Jeffrey dapat melihat kembali perempuan yang sumpah mati begitu ia cemaskan. Pria itu lagi-lagi mesti berhadapan dengan Alice dan menerima hadiah berupa konsekuensi atas perbuatannya yang melampaui batas.

"Bunuh aku sekarang!"

Saat mulut pistol berada tepat di kepala dan saat Jeffrey telah berada pada titik paling pasrah dalam hidupnya, dering suara ponsel mengalihkan atensi seluruh manusia di dalam sebuah kediaman kala itu. Seorang pria berbadan tegap mendekat pada Alice, memperlihatkan layar ponsel dalam genggamannya.

Sejurus, mata Alice membulat lalu beralih pada Jeffrey. Tatapannya tak lagi setajam lalu, melainkan meredup entah apa gerangan. Wanita itu melengos pergi sesaat setelah merebut pistol dalam genggaman Johnny dan mengucap satu perintah teruntuk para pesuruh,

"Pulangkan pria ini!"

Maka, di sinilah Jeffrey kembali berada. Di rumah yang malam ini terasa berbeda dari malam-malam lampau. Ia dingin dan sepi. Dingin sebab tiada kehangatan yang biasa ditimbulkan dari kehadiran orang terkasih di dalamnya, juga sepi lantaran tiada canda-tawa yang kerap membuat semarak suasana.

SILHOUTTE: After A Minute [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang