Daripada merasa tersindir ataupun tersinggung dengan ucapan Jean tadi pagi, Jinan lebih seperti merasa— iya bener, kenapa Ayah nggak usir aku setelah Bunda pergi?
Yang Ridwan bilang memang tepat sasaran, ucapan Jean sukses membuka lebar pintu ruang overthingking di otak Jinan. Membuat pikiran dan perasaan Jinan makin kacau. Jinan memang tidak menangis, namun dalam sekali tatap, manik pemuda Azzamima itu terlihat jelas menyimpan banyak beban dan luka.
Kalau diperumpamakan ...
mendung tengah merajai perasaannya, luka pun tengah memeluk dirinya dengan begitu erat. Begitu juga dengan duka yang sedang menghalangi cerah menyinari ruang emosinya. Tidak ada cita yang tersisa, itu semua telah sirna terseret arus fakta masa lalu.
"Bun, Jinan datang ...."
"Jinan datang sendiri, nggak sama Bang Azmi atau Mas Jean. Jinan udah gede, soalnya udah bisa datengin Bunda tanpa ditemenin. Bunda seneng?"
Dan satu-satunya pelarian yang terpikirkan oleh Jinan adalah makam Bunda. Karena bagi Jinan, tidak ada yang lebih menenangkan daripada bersama Bunda, meski Bunda tidak benar-benar ada di sisinya. Pergi ke makam Bunda saja rasanya sudah cukup bagi Jinan, setidaknya, Bunda tidak pernah benar-benar pergi meninggalkannya.
Bunda masih menyisakan hangat pelukannya untuk si bungsu.
"Emm ... Bunda apa kabar?"
"Jinan sehat di sini, meski nggak bahagia hehehe ...."
Kalau biasanya Jinan akan selalu menangis dengan hanya melihat batu nisan di makam Bunda, namun tidak dengan sekarang. Detik ini bahkan Jinan bisa tertawa kecil dengan tangannya yang membelai halus nisan Bunda. Maniknya tidak lepas dari sorot lingkup gundukan tanah di hadapannya— tempat peristirahatan Bunda yang terakhir, tempat yang tidak pernah Jinan bayangkan akan jadi tempat Bunda terbaring secepat itu.
"Bunda ... kalau boleh Jinan sekali aja nyakitin perasaan Bunda, Jinan mau bilang kalau Jinan kecewa sama Bunda."
"Bunda, Jinan berhak kan buat itu?"
"Alasannya, karena Bunda ngebiarin Jinan hidup di tengah kebohongan ...."
Rasanya, kaki Jinan agak goyah ketika mengatakan rasa kecewanya pada Bunda. Mungkin karena ikut merasa sakit dan sesak, dan mungkin juga karena Jinan terbayang bagaimana wajah terlukanya Bunda ketika dia mengucapkan hal buruk tadi.
Tuhan menciptakan Jinan dengan mental lemah dan perasaan seputih suci. Tapi dengan apiknya, Tuhan malah menyusun garis takdirnya untuk bertemu pada benang merah bernama masalah yang begitu rumit.
"Tuhan nggak adil ke Jinan ya, Bun. Dia ambil Bunda dari Jinan, Dia juga ambil kasih sayang Ayah dari Jinan di waktu yang sama, dan sekarang, Jinan dikasih fakta yang buat Jinan bahkan rela ngebenci laki-laki yang ngajarin ke Jinan tentang apa itu hidup."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Pulang ; Mark Jeno Jisung
Teen Fiction"Rumah itu bangunan yang dibentuk dari susunan pondasi, dinding terus atap. Tapi fungsinya lebih dari itu, selain jadi tempat tumpuan, tempat sandaran dan tempat berteduh, rumah juga bisa jadi tempat kita mencari sesuatu yang nggak akan pernah kita...