kamu anak sulung, tengah, atau bungsu?
Semalam setelah menghabiskan malam minggu dengan Emil dan mengantar gadis itu pulang ke rumah dengan selamat, Azmi bergegas pulang dengan suasana hati yang bisa dikatakan lumayan tenang— setidaknya lebih baik dari sebelum pergi tadi.
Begitu sampai rumah, hal yang pertama kali Azmi cari adalah eksistensi Ayah. Azmi kira Ayah akan menungguinya pulang, menanyakan keadaannya, dan mengajaknya mengobrol sebentar mengingat Ayah jadi lebih perhatian hari ini, tapi ternyata tidak. Yang dicarinya tidak didapatinya ketika memasuki rumah.
Azmi kecewa, tentu saja. Namun, Azmi berusaha maklum. Kecewa karena Ayah bukan hal baru lagi bagi Azmi. Dan tidak banyak juga yang bisa Azmi lakukan, ya sudah, kalau memang Ayah tidak menunggunya pulang, sudah terbiasa. Karena menyangkut perihal Ayah, hanya satu prinsip yang Azmi pegang, semakin berharap, semakin berekspektasi, semakin besar ketidak mungkinannya, semakin pahit kekecewaannya.
Azmi sempat ingin mengecek keadaan Ayah, mencari Ayah untuk sekedar bertanya apakah sudah makan malam atau belum, tapi niat itu diurungkan ketika dia melihat Jinan keluar dari kamarnya dan masuk ke kamar Jean tanpa menyadari kehadirannya.
"Ji—" Panggilan Azmi terpotong begitu suara tangis Jinan terdengar dari dalam kamar Jean.
Tanpa basa-basi, Azmi segera mendekat ke arah kamar Jean. Mengintip sedikit di celah pintu yang tidak tertutup rapat, yang dilihatnya tak lebih dari dinding kamar Jean yang polos. Karena tidak mendapati apa yang ingin dia lihat, Azmi langsung menerobos tanpa ijin atau ketuk pintu dulu.
Kondisi Jinan yang memeluk Jean dengan suara tangis sesenggukan yang terdengar jelas jadi hal yang pertama kali Azmi sadari ketika memasuki kamar Jean. Azmi mematung sesaat. Lalu maniknya terfokus pada Jean yang menangis dalam diam, hanya air mata yang jadi tanda kalau Jean turut merasa sedih karena tangisan Jinan.
Sebenarnya, apa yang terjadi di rumah selama Azmi pergi menemui Emil tadi?
"Jean, Jinan, kalian ... kenapa?" tanya Azmi pelan, hampir tidak terdengar.
Jinan bergeming, mungkin dia tidak mendengar apa yang Azmi tanyakan. Tapi Jean merespon, mengisyaratkan Azmi untuk mendekat dengan gerakan tangannya yang lantas diangguki Azmi tanda menurut.
"Ji, jangan nangis terus, ntar kamu ikutan sakit kayak Mas lho," tegur Jean tepat sesudah Azmi mendudukkan diri di belakang Jinan.
Perlahan Jinan mengangkat kepalanya, masih dengan tangis yang mendera walau sudah tidak sederas tadi. "Ayah kenapa setega itu ya, Mas, sama aku? Padahal aku nggak pernah ngebuat salah ke Ayah, apalagi nyakitin hati Ayah," ungkapnya dengan suara tersendat-sendat.
Azmi mengangguk paham. Ternyata permasalah fakta yang tadi siang Jean katakan. "Ji, coba Abang liat mukanya," kata Azmi buka suara.
Jinan tersentak kaget, kemudian buru-buru memutar posisi duduk sehingga kini Azmi terlihat dalam rangkum atensinya. "A-abang kapan masuk? Kok aku nggak sadar?" Ketahuan menangis saja gelagatnya sudah seperti ketahuan mencuri jambu air milik tetangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Pulang ; Mark Jeno Jisung
Fiksi Remaja"Rumah itu bangunan yang dibentuk dari susunan pondasi, dinding terus atap. Tapi fungsinya lebih dari itu, selain jadi tempat tumpuan, tempat sandaran dan tempat berteduh, rumah juga bisa jadi tempat kita mencari sesuatu yang nggak akan pernah kita...