13. Kehilangan yang Membekas

1.4K 167 30
                                    

Arga Bayanaka bukannya nggak sayang sama Anak-anaknya, dia cuman kesepian.

Warn⚠⚠

Chapter ini dibuat khusus untuk Bapak Arga Bayanaka yang tersayang. Agak cringe, hehe.

Arga menatap satu persatu bingkai foto yang tertata rapi di atas meja kerjanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arga menatap satu persatu bingkai foto yang tertata rapi di atas meja kerjanya. Bingkai foto berukir tanaman sulur dengan warna cokelat tua yang nampak indah dan antik, pun dengan gambar yang dibingkai. Dalam sorot matanya, banyak hal yang tersirat ragu, menyatu menjadi sebuah air mata yang mulai menggenang, hingga berakhir jatuh membasahi tulang pipinya.

Arga menangis. Dia sedang sedih.

"Gita, maaf kalau aku ingkar janji." Tangan Arga beralih mengambil sebuah bingkai foto yang di dalamnya terdapat gambar Anggita Wirya— istri dari Arga Bayanaka— dan tiga orang pemuda yang memeluk Gita dari arah belakang, samping kanan, dan samping kiri. Tiga pemuda itu adalah Azmi, Jean, dan Jinan.

"Azmi sama Jean harus tau kalau Jinan bukan anak aku. Mereka berhak tau penyebab dulu kita pernah bertengkar, mereka harus tau siapa Jinan sebenarnya," imbuh Arga mengakhiri.

Arga mengusap jejak air mata di wajahnya, tersenyum tegar dengan manik yang terus terpaku pada gambar dalam bingkai foto yang kini digenggamnya. "Semenjak kamu pergi, aku jadi berjarak sama mereka. Sama Azmi, sama Jean, apalagi sama Jinan. Maaf, aku belum bisa anggap Jinan kayak anak aku sendiri. Maaf juga, aku nggak berhasil buat bikin suasana rumah tetap sama meskipun kamu udah nggak ada."

Ibu jarinya tergerak mengusap wajah Azmi dan Jean yang sedang tersenyum dalam gambar sambil memeluk bahu Anggita yang sedang duduk di sebuah kursi. Lalu beralih pada wajah Jinan yang menyembul di balik ceruk leher sang Ibu sambil tersenyum lebar dengan tangan yang mengalung manja di perpotongan leher Anggita. Dan terhenti pada wajah Anggita yang tengah tersenyum lembut, manik wanita yang dicintainya itu menyorotkan kehangatan, hal yang selalu menjadi dambaan Arga bahkan saat Anggita sudah tidak ada.

"Dan maaf lagi, aku gagal dalam usaha mengikhlaskan kamu." Arga tersenyum sendu dengan air mata yang kembali tumpah. "Aku kesepian, apa kamu nggak kasian? Kamu perginya terlalu tiba-tiba, buat aku kayak kehilangan waktu berharga yang bisa aku habisin bareng kamu, buat aku kayak kehilangan hal dan tujuan untuk hidup. Kamu masih segalanya buat aku, Git," keluh Arga entah pada siapa.

Merasa air matanya semakin deras berderai membuat jejak bak sungai di wajahnya, dengan kasar Arga meletakkan bingkai foto di tangannya ke atas meja dan dalam posisi ditelungkupkan. Wajah Anggita memang menjadi dambaannya, tapi wajah itu juga bisa membuatnya menangis tanpa henti— dan Arga tidak suka menangis.

Aku Ingin Pulang ; Mark Jeno JisungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang