Menurut Azmi, arti saudara se-Ibu tidaklah begitu istimewa, juga tidak begitu erat layaknya saudara se-Ayah atau saudara kandung. Karena bagi Azmi, saudara se-Ibu hanyalah perihal mereka yang lahir dari rahim seorang wanita yang sama, namun di dalam diri mereka mengalir darah yang berbeda.
Setelah mendengar pengungkapan Ayah yang mengatakan kalau Jinan bukanlah anaknya, dengan segera Azmi pamit keluar dari kamar Ayah. Azmi tidak ingin mendengar apa yang belum siap dia dengarkan. Terlebih tentang penjelasan kenapa Jinan bisa lahir, hadir, dan ikut masuk ke dalam rumah ini. Azmi takut, setelah nanti mendengar penjelasan Ayah lebih lanjut, dia akan membenci eksistensi Jinan.
Jangankan mendengar penjelasan dari Ayah, mengetahui kalau Jinan sebenarnya bukan anak kandung Ayah saja sudah membuat Azmi tidak fokus. Pikirannya berkecamuk tidak karuan, berekspektasi sendiri perihal peristiwa apa yang membuat Jinan bisa hadir dalam keluarganya.
Kalau boleh jujur, untuk saat ini, Azmi menganggap Jinan sebatas orang asing. Memang, secara status Jinan tetaplah Adiknya. Tapi kalau dilihat lebih jelas lagi, tidak banyak alasan untuk Azmi tetap menganggap Jinan sebagai Adiknya.
"Bun, kalau Azmi benci Jinan, Bunda marah nggak sama Azmi?" lirih Azmi pada angin kosong di sekitarnya. Ruang makan yang menjadi awal kesenangan Azmi, Jean, dan Jinan tadi sore terasa sunyi. Teriakan Jean dan Jinan memang masih samar terdengar di telinganya, tapi bagi Azmi, teriakan itu tidak lagi mampu membuatnya tersenyum bahkan tertawa seperti tadi sore. Teriakan itu lebih mirip teriakan hampa, mulai tidak berarti lagi bagi Azmi.
"Sebenarnya Jinan itu siapa, Bun? Bener kan dia adiknya Azmi?" Azmi melirih lagi, menyalurkan rasa sesaknya mengingat kenyataan yang beberapa saat lalu dia dengar.
Andai Bunda masih ada, andai sebelum Bunda pergi, Bunda bisa jujur terlebih dahulu perihal Jinan, andai Bunda tidak membawa Jinan masuk ke dalam rumah ini dan andai Jinan tidak menjadi bagian dari anggota keluarga mereka. Semua perandaian itu hanya mampu membuat Azmi semakin tidak fokus dan semakin kacau. Sesak sekali rasanya.
"Abang?" Suara Jinan membuat air mata Azmi yang tadi hampir turun seakan menguap.
Azmi menoleh, dia tidak mengatakan apapun, hanya tersenyum tipis lalu mengalihkan tatapan dari eksistensi Jinan yang berdiri di ambang pintu dapur.
"Abang belum tidur?" tanya Jinan sambil berjalan menuju dispenser.
Azmi menggeleng pelan. Untuk membuka suara menjawab pertanyaan Jinan, Azmi rasa dirinya tidak mampu. Azmi takut, saat dia berucap untuk menjawab pertanyaan si bungsu, yang terlontar bukanlah seperti apa yang Jinan harapkan dan Azmi sendiri bayangkan. Azmi takut memperumit keadaan di rumah ini. Biarlah sesaknya bertahan sedikit lebih lama, nanti kalau sudah waktunya, Azmi janji akan siap menerima kebenarannya.
"Abang mau minum nggak?" tawar Jinan dengan meletakkan segelas air putih di hadapan Azmi.
"Makasih," kata Azmi tanpa suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Ingin Pulang ; Mark Jeno Jisung
Ficção Adolescente"Rumah itu bangunan yang dibentuk dari susunan pondasi, dinding terus atap. Tapi fungsinya lebih dari itu, selain jadi tempat tumpuan, tempat sandaran dan tempat berteduh, rumah juga bisa jadi tempat kita mencari sesuatu yang nggak akan pernah kita...