Nara menghela nafas lega, ya lega karena malam itu ia tidak menjadi gadis yang keras kepala. Menuruti saran Om Rivat adalah keputusannya yang paling tepat, mengingat disepanjang jalan yang dilewati untuk menuju rumahnya suasana lengang dan sunyi. Nara begidik sendiri membayangkan seandainya tadi ia nekad pulang mengemudi sendiri. Pasti takkan berani. Jam sudah menunjukan pukul 23.45 pengguna jalan seakan hanya mereka berdua saja.
Untung gue nurut sama Om Rivat bathin Nara.
Sejenak Aryan memperhatikan gadis mungil yang duduk disampingnya, kedua tangan kurus itu sibuk mengusap – usap lengan. Pria itu memperlambat laju mobilnya lalu berhenti di pinggir jalan. Tangannya menekan tombol off pada AC mobil, sejurus kemudian badan jangkungnya berbalik untuk menjangkau sesuatu dari kursi tengah.
“Kenapa berhenti?” Tanya Nara dengan nada panik.
Aryan terkekeh pelan seraya meletakan sebuah jaket di pangkuan Nara.
“Gak usah negthink lah! tuh pake jaketnya !”
Tanpa menunggu reaksi Nara, pria itu langsung mengemudikan kembali mobil dengan kecepatan sedang. Nara hanya memandangi jaket hijau dipangkuannya. Hatinya menolak keras untuk memakainya, namun apa daya badannya mulai kedinginan. Dengan gerakan perlahan gadis itu mulai mengenakan jaket milik Aryan. Kedodoran!
“Besok berangkat jam berapa?” Tanya Aryan tanpa menoleh.
“Jam sembilan lebih, tergantung gue bangunnya cepet apa kagak”
“Masa dokter gak disiplin?”
“Atas dasar apa lu nuduh gue gak disiplin?”
Sebenarnya Nara sudah malas berdebat, tetapi mendengar nada sarkas pada pertanyaan Aryan barusan, jiwa nyolotnya sedikit tersentil.
“Hahaha lu gampang banget kepancing ya Nay?”
“Kepancing nenek lu, barusan bukan mancing. Itu mah nuduh tau”
“Loh kok?”
Aryan menatap sekilas wajah Nara, yang memerah dengan mata melotot lucu ke arahnya. Jika saja ia tidak sedang mengemudi, pasti sudah merogoh kantong celana meraih ponsel untuk mengabadikan tampang gemas Nara menggunakan kamera hapenya.
“Elu itu secara gak langsung ngatain gue tau gak?”
Aryan geleng kepala, emosi Nara semakin memuncak.
“Gak usah geleng kepala!”
“Lhaa ya udah gue minta maaf”
“Makanya jangan suka asal ngomong! besok gue berangkat jam sembilan karena jadwal jaga gue dari jam sepuluh sampai besok paginya”
“Oohh, ya gue paham”
“Makanya jangan suka sotoy!”
“Tadi kan gue gak tau Nay, wajar dong pemikiran gue kek gitu! gini Nay, kalo dalam pemikiran orang awam seorang dokter itu harus gesit, berangkat pagi pulang gak tentu. Pasien yang berobat ke rumah sakit kan gak berjadwal”
“Di rumah sakit kan dokternya banyak, ada jadwalnya”
“Yaa yaa, gue udah minta maaf!”
“Tauk ah masih eneg gue”
“Mau turun gak?”
“Ngapain turun?”
“Ini rumah lu”
Aryan menganggukan kepalanya ke arah kiri, refleks Nara ikutan menoleh. Ia melebarkan matanya untuk mempertajam penglihatannya. Laaah ternyata memang itu rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEINARA (End)
Random(Sequel Ais-Ari) REVISI BERJALAN - Dia, Keinara Putri Pratama. Gadis bertubuh kecil mungil dengan wajah khas Asia, berumur 25 tahun berprofesi sebagai dokter. Cantik gak sih? cantik. Rambut lurus, hitam. Kulit putih bersih, wajah oval, mata sipit...