Hal apa yang sekiranya selalu membawa otak kita melambung jauh ke masa lalu, mengingat kenangan dan mengulas kejadian yang sulit kita lupakan, meski kejadihan pahit sekalipun.
Aroma parfum?
Aroma lotion?
Lagu?
Tempat?
Aku rasa semua mampu membuat kita nostalgia dengan seseorang di masa lalu.
Bagiku ada dua hal yang selalu mengunciku dalam kelam, hingga label gamonku susah untuk dihilangkan. Pertama aroma tanah setelah hujan dan kedua adalah batalyonku.
Kedua hal remeh itu selalu sukses membuat ku teringat akan sosok Zahra, istri orang yang selalu aku semogakan belum menjadi milik orang.
8 bulan yang lalu
“Izin dokter Aksa, ada tamu yang mau bertemu. Katanya teman lama dokter waktu tugas di Papua.”
Ketika itu aku sedang istirahat siang setelah selesai dinas, tiba-tiba juniorku datang dan mengatakan ada tamu yang mau bertemu dengan ku.
Tanpa pikir panjang aku segera beranjak dari barak perwira bujang dan menemui tamuku di taman kompi.
Gadis semampai berbalut gamis navy dan pashmina abu-abu turun dari honda jazz warna merah, menenteng sebuah tas jinjing dan berjalan ke arahku yang duduk di bangku taman.
“Hay, long time no see. Bagaimana kabar dokter Aksa?” suara merdu nan mendayu itu kembali terdengar.
Terakhir kali aku mendengar beberapa tahun lalu, saat berpamitan pulang ke Surabaya.
“Hay, Ra. Kabar buruk setelah nomor saya kamu blok. Tapi alhamdullilah hari ini kabar saya kembali membaik setelah bertemu dengan kamu. Kabarmu sendiri bagaimana?”
Senang bukan main, setelah sekian purnama akhirnya aku bisa bertemu dan ngobrol dengan gadis ini. Zahra Almaira yang hari ini datang menemuiku langsung ke batalyon.
“Alhamdulliah kabar saya baik dok, meski kemarin sedikit ada something. But this day, i verry happy karena semua impian saya sebentar lagi bakal terwujud.” Zahra tersenyum.
Senyum manis yang selalu sukses membuatku jatuh ke jurang cintanya yang begitu curam.
“Hmm, saya dengar kamu sudah mengambil sumpah profesimu? Selamat ya!” basa-basiku, sekalian untuk menghilangkan kecanggungan di antara kami.
“Oh iya bgaiaman kondisi Bang Yudha, sorry saya belum sempat jenguk karena kendala dinas.”
Aku menatap hamparan rumput luas yang basah oleh guyuran air hujan yang turun sebelum ini.
“Terima kasih dokter Aksa. Kondisi mas Yudha alhamdulillah semakin membaik, sekarang dia dinas di Mojokerto,” tersirat gurat bahagia yang begitu kentara di wajah ayu Zahra Almaira.
Nama Manggala Yudha selalu sukses membuatku iri. Kadang sisi jahatku berdo’a agar dia tidak selamat dalam baku tembak yang hampir merenggut nyawanya. Namun jiwa malaikatku selalu menolak itu.
“Syukurlah kalau Bang Yudha sudah bisa dinas lagi, saya ikut senang.” Ucapku teramat tulus dari hati “ oh iya, tumben kamu datang kesini. Bang Yudha gak marah?”
Zahra mengangguk lantas tertawa anggun, “Mas Yudha marah. Tapi gak apa-apa, saya rela dimarahin mas Yudha demi nemuin dokter Aksa sesuai janji saya dulu.” Zahra mulai sibuk menggledah tas hitamnya.
Sampai di sini perasaanku mulai tidak nyaman. Inikah detik terkahir aku mengagumi Zahra sebagai gadis lajang.
“Ini undangan yang dokter Aksa minta, saya sudah antarkan sendiri ke batalyon dokter dan foto prewedingnya pun biasa, susuai pesanan dokter Aksa.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Rindu (Series Dejanira)
General Fiction"Akhir sejati dari penantian adalah pertemuan. Seperti aku yang menemukannya, meski melalui jalan kesalahan." ~ Pradipa Aksadaru Nugroho "Manusia punya keinginan, tapi semesta punya kenyataan. Seperti aku yang tak menginginkan, namun takdir pandai m...