5.

236 26 5
                                    

Sebagian orang bakal setuju kalau hari senin dinobatkan sebagai hari menyebalkan sedunia.

Hari di mana umat manusia harus kembali beraktivitas setelah weekend panjang.

Anak sekolah pada malas ke sekolah karena harus mengikuti upacara, panas-panasan di bawah terik sang Surya. Belum lagi kalau telat dan harus berurusan sama kesiswaan. Ngaku kalian, pasti pernah di posisi itu.

Kalau aku sih iya. Dulu waktu masih kelas pertama SMA aku terkenal sebagai siswa yang suka telat dan suka bolos, kendati aku juga terkenal sebagai siswa berprestasi kelas akselerasi.

Namun itu dulu, sebelum aku mengenal kejamnya lembah tidar dan galaknya mulut pelatih. Semenjak pendidikan ALL aku berubah jadi taruna super disiplin. Dan itu terbawa hingga sekarang.

Saking disiplinnya jarum masih menunjukkan pukul tuju,  pajero putihku sudah terparkir rapi di samping yariz kuning di rumah kediaman pribadi komandan ku, Ayahnya Mentari.

Setelah mengunci mobil, aku memasuki teras rumah bergaya klasik. Rumah pribadi Mentari berada di komplek elite dengan beberapa tentara berjaga di depan pintu.

Sebelum mengetuk pintu, aku tersenyum dan menyapa ajudan dr. Ariyo. Mereka memberiku hormat dan membalas sapaanku.

“Siap. Izin dokter. Dokter Ariyo sedang tidak di rumah, beliau ada jadwal di rumah sakit.”

Aku meggangguk sekilas, “saya kesini mau bertemu Mentari, ada?” lanjutku.

“Siap, ada dokter. Izin, mau saya panggilkan.”

Belum sempat aku menjawab pertanyaan sang prada, Mentari Aulia membuka pintu dan tersenyum menyambutku “janjian sama dokter tentara emang beda ya, kak. Disipilinnya kelewatan,” kekeh Mentari.

Gadis cantik ini mempersilakan aku masuk ke rumah. Jujur ini kali kedua aku datang ke kediaman pribadi dr. Ariyo. Pertama dulu, karena ada keperluan dinas dan sekarang aku datang lagi dengan kondisi dan status yang berbeda, calon suami putrinya, insya allah.

“Kak Aksa udah sarapan? yuk sarapan dulu. Mama pagi ini masak banyak,” ajak Mentari yang sudah rapi dengan baju kuliahnya.

Rencana pagi ini aku akan mengantarnya ke kampus, kami sudah janjian dari kapan lalu.
Anggap saja ini langkah awal ku untuk lebih mengenal dalam tentang Mentari, ku mulai dari keluarga dan lingkar pergaulannya.

“Saya sudah sarapan Tari, bareng sama Bunda,” balasku.

Tapi dia tetap ngeyel dan menyeretku ke ruang makan, “Ayolah, Kak, jangan bohong. Kakak belum sarapan, hanya minum susu, Bunda Rani sendiri yang bilang ke Tari.” Paksanya.

Tari dan Bunda memang sudah sedekat itu, tak jarang keduanya saling bertukar kabar atau hanya sekedar membicarakanku.

“Ada balado telur dadar kesukaan kakak,” tambahnya lagi.

Kami berdua sudah mulai tau kesukaan masing-masing, menurutku itu perlu untuk modal awal menuju jenjang selanjutnya.

“Saya tidak terbiasa makan berlemak di pagi hari, Tari. Serius, nasi akan membuat saya ngantuk.”

“Tapi kak Aksa belum sarapan, nanti sakit.” Terbesit nada khawatir dalam ucapnya.

Hatiku menghangat, begini rasanya ada yang memperhatikan di luar Bunda.

“Ada apa Tari kok ribut-ribut,” timbrung wanita paruh baya dari arah dapur, membawa segelas susu putih, “wah ada tamu rupanya,” tambah tante Veni, mamanya Mentari dan sahabatnya Bunda.

“Gimana kabarnya Sa. Mbok ya gini, sesekali main ke rumahnya Tari,”
Aku mencium punggung tangan Tante Veni.

Ku akui Tante Veni tipikal orang yang ramah dan masih tetap cantik di usianya yang hampir memasuki setengah abad. Gaya berpakian beliau pun glamour ala sosialita, rambut yang harusnya beruban disemir warna hitam mengkilau, disanggul rapi dan berponi gelombang menutupi gurat keriput di jidat yang tersamarkan oleh perawatan yang pastinya mahal.

Mentari Rindu (Series Dejanira) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang