8.

135 25 9
                                    

Sadar atau tidak, kaum adam terlampau sering menyepelekan, tentang status pasangannya untuk jangka ke depan.

Kami seringkali lupa, bahwa wanita itu sosok yang sangat butuh sekali yang namanya kepastian hubungan.

Padahal sudah menjalin romansa bertahun lamanya, keluarga saling kenal, bahkan angan pernikahan sudah sering dibicarakan sekalipun.

Tapi kalau belum diwujudkan, wanita pasti beranggapan itu hanya bualan.
Apalagi yang pacaran baru hitungan bulan, ditambah pasangannya gamon.

Kali ini aku tidak akan menyalahkan Mentari, ketika dia mulai menuntut keseriusan ku.

"Tari tidak memaksa Kakak buat segera melupakan mbak Zahra. Tapi kak Aksa hari ini sedang duduk dengan Tari. Dan wanita manapun, tidak ada yang rela berbagi laki-laki yang dia sayangi dengan orang lain."

Memang, sedikit banyak aku sudah menceritakan kisah masa lalu ke Mentari. Bukan untuk membuatnya cemburu. Lebih sebagai bentuk keterbukaan ku, agar kami sama-sama bisa mengenal.

"Maafkan saya Tari, bukan maksud saya...."

"Tari paham kakak hanya bercanda, tapi bercanda itu kalau dua pihak tertawa."

Jleb...
Mentari menyindir ku secara halus.
Aku terdiam. Memang salah ku sendiri, pakai menyebutkan nama wanita di masa lalu ku. Wanita manapun jelas pasti bakal kecewa.

"Maafkan saya Tari. Saya janji tidak akan mengulanginya," aku menatap ke manik matanya yang terdalam.
Aku takut dia bakal meninggalkan aku, di saat dia hampir bisa membuat ku nyaman.

"Ada orang yang pernah bilang, kalau lelaki itu emang sukanya ngobral janji. Apalagi kalau dia ketahuan salah."

Bahuku merosot seketika. Dua kali dia menyendir ku, ditambah raut mukanya yang mencoba tegar dengan senyumnya yang tetap mengembang.

Andai Mentari tau, itu malah bikin aku merasa bersalah berkali lipat.

"Setelah saya bicara ini mungkin kamu akan beranggapan kalau saya berbohong. Tapi sungguh, cepat atau lambat kamu mulai bisa menggeser nama Zahra dari hatiku, Tari." Aku memengang kedua tangannya yang berada di atas meja, mencoba memberinya keyakinan.

"Tari percaya itu," dia tetap tersenyum, meski ku tahu hatinya kecewa, "kakak minta Tari harus gimana," lanjutnya.

"Tetaplah tinggal. Bantu saya lepas dari bayang masa lalu saya. Biar hanya kamu satu-satunya wanita yang dapat mengisi hati saya," pintaku serius. Kali ini aku ingin benar-benar move on dan melanjutkan hidup.

"Tari akan tetap tinggal, tapi untuk membantu kakak lepas dari bayang mbak Zahra Tari tidak berhak, karena yang bisa membantu hanya diri kakak sendiri."

Tari meneguk minumnya, setelah itu memasukkan handphone dan dompetnya ke tas.

"Saya mohon maafkan saya Tari, saya menyesal." Aku memegang lengan perempuan itu, ketika hendak beranjak.

Dia masih tersenyum manis, "Tari selalu memaafkan Kakak, Tari bakal tetap tinggal. Tapi untuk sementara waktu, lebih baik Kak Aksa sendiri dulu. Datanglah ke Tari kalau kakak sudah mengambil keputusan tepat."

Setelah mengatakan itu Mentari pergi. Meninggalkan aku yang duduk termenung di cafe ini sendirian.

Aku tak menjamin ada perempuan yang mau bertahan dengan pria gamon seperti ku. Kecuali Mentari Aulia, pasti sudah lari terbirit mencari pria lain yang mau diajaknya serius.

Sudah ku kecewakan sedemikian rupa tapi tadi sebelum pergi Mentari masih sempatnya mengingatkan aku.

"Setelah ini mungkin Tari bakal berhenti dulu menghubungi kakak dan nganterin makanan. Kakak jangan lupa makan, jaga kesehatan. Jangan capek capek kerjanya."

Mentari Rindu (Series Dejanira) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang