7.

161 24 11
                                    

Pernah terlintas dalam pikiran, orang di luaran sana kenapa mudah sekali jatuh cinta. Patah cinta, tak lama datang cinta baru. Entah mereka yang terlalu mudah menaruh hati atau mereka yang pandai berdamai dengan situasi?

Bagiku cinta adalah sebuah misteri, yang tak tau alasan kenapa kita bisa jatuh cinta pun kenapa yang namanya cinta itu tidak bisa dikerja rodikan alias dipaksa.

Cinta murni masalah rasa dan hati. Rasa yang hadir tanpa permisi, hati yang tidak tahu akan jatuh ke siapa.
Seperti hatiku yang entah bagaimana bisa jatuh sejatuh-jatuhnya ke sosok perempuan yang tak pernah melihat ke arahku.

Perhatian yang aku berikan, nyawa yang hampir ku korbankan demi menyalamtkan hidupnya dulu, nyatanya ia hanya menganggapku sebagai teman. Status yang membuat siapapun bakal merasa kecewa. Patah hati sejadinya.

Zahra Almaira, gadis cantik itu mampu membuatku jatuh cinta dan patah secara bersama.

“Maksudnya apa ini, Ra?” tanyaku dulu. Ketika Zahra datang di kesatuan untuk mengantarkan undangan, tak hanya undangan dia juga mengembalikkan dog tag yang pernah aku berikan dulu ketika dia sakit di Papua, “ini sudah saya berikan ke kamu,” lanjutku.

Zahra menggeleng, “saya tidak bisa menerima ini, Dok.”

“Kenapa, Ra? saya memberikan ini bukan untuk mengikatmu,” tanyaku, seraya menatap Zahra yang duduk di samping ku.

Iris hitam terbingkai kelopak bulat itu menatap lurus ke depan, ke pohon angsana yang menggugurkan bunga sehabis terguyur hujan, “saya tahu, dokter Aksa dulu pernah bilang. Kalung ini dokter berikan sebagai pengingat buat saya, saya dulu pernah bertemu dengan dokter hebat yang mencintai saya tanpa sayarat,” dari samping Zahra terilihat tersenyum.

Senyuman sama, yang dulu untuk pertama kalinya pernah membuatku terpesona.

“Bukan dokter hebat, Ra,” aku terkekeh kecil sambil menerawang ke masa aat aku dibuat jatuh hati berkali-kali oleh gadis yang sebentar lagi akan jadi milik orang “tapi dokter bodoh yang udah tahu cintanya tak kan terbalas, namun tak pernah berhenti berharap,” lanjutku berubah sendu.

“Sekedar berteman sama saya, apakah kamu tidak mau?”

Zahra memalingkan wajah ke arahku, netra hitamnya menatap dalam manik teduhku. Jenis tatapan biasa, yang tak sama seperi ketika dia sedang menatap kapten Yudha.

Dari sini aku tahu, kalau rasaku memang keliru. Karena semakin ku tatap, semakin tak ku temukan secercah harap kalau Zahra bakal membalas hatiku.

To bee friend, i okey. But for to bee this tag, i sorry. Ada orang yang harus saya jaga perasaaanya,” Zahra memutus kontak mata kami.

Aku menghembusakan napas pelan.

“Saya tidak bisa menyimpan kalung dokter Aksa, saya takut mas Yudha tahu dan terjadi kesalahpahaman,” lanjutnya dengan nada bersalah.

“Beruntung sekali Bang Yudha, Ra. Menemukan wanita yang peduli sekali dengan perasaannya,” sahutku lesu.

Sisa air hujan yang mentes di dedaunan, menimbuklan suara yang mengiringi keputus asaan ku akan masa depan.

“Dokter Aksa juga bakal bertemu sama orang yang mengerti dan mampu menjaga hati dokter Aksa,” sekali lagi Zahra tersenyum.

Aku tahu ini adalah senyuman terkahir yang boleh ku kagumi sebelum dia berganti status menjadi istri orang.

Zahra pergi, meninggalkanku dalam rintik gerimis yang mulai turun membasahi bumi. Dia pergi dengan membawa lari hatiku. Rasa cintaku ada membersamai raga sempurna yang tak kan bisa lagi kudamba.

Mentari Rindu (Series Dejanira) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang