10.

265 19 1
                                    

Berapa asa yang harus ku pupuk, agar hadirmu tak menjadi benalu dalam pikirku. Sebab harap telah menyambut, mengisi tanah kosong penuh gambut. Menyirami kelam, menyemai bibit baru untuk berkembang.

"Ra, ini terakhir kali saya mengagumi mu sebagai sosok yang saya cinta. Selebihnya do'akan saya untuk segera bisa lupa." Aku melempar foto terakhir Zahra Almaira ke dalam kobaran api yang  lebih dulu membakar kenangan lainnya.Ya,aku membakar semua foto yang dulu aku ambil diam-diam lalu aku cetak.

Aku tidak mau jadi pecundang, setelah tadi aku meminta Mentari Aulia ke orang tuanya dengan penuh keberanian.

Disisi lain aku juga tidak ingin mengecewakan Bunda, yang kini turut menyaksikan putranya mengubur masa lalunya.

"Kita ada di masa sekarang sebab  pernah ada di masa lalu. Jadikan ini pelajaran ya Le, namanya kehidupan itu pasti berproses."

Aku menatap Bunda yang kini juga tengah menatap ku, gurat lelah nampak terpancar di paras senjanya. Astaga Aksa, beban berat selalu kamu tumpukan pada pundaknya yang tak lagi belia.

"Terima kasih, Bund. Selalu memberikan yang terbaik untuk Aksa. Maaf masih selalu merepotkan. Sebentar lagi Aksa bakal mewujudkan keinginan Bunda."

Aku memeluk Bunda. Merasakan belaian ketulusan pada rambut cepak ku. Nyaman seperti biasanya.

Hembus angin malam menerjang, menyejukkan raga yang merindukan tempat berpulang. Cahaya bintang berkedip mesra, menerpa rerumputan hijau di belakang rumah Bunda. Api terus berkobar kuat, menghancurkan kenangan secepat kilat. Bersamaan dengan padamnya sang bara, padam pula rasaku pada Zahra.

Papa dan Mama Mentari telah menerima pinangan ku dengan lapang hati, beliau semua terlihat sumringah kala aku meminta putrinya untuk ku jadikan istri.

Dan sebelum acara pernikahan berlangsung, akan digelar acara pertunangan lebih dulu, dengan tanggal yang telah ditentukan para tetua. Di luar dugaan ku, ternyata Bunda dan keluarganya Mentati diam-diam sudah mempersiapkan segalanya, mereka selalu yakin aku dan Mentari pada akhirnya akan bersama, meski selama beberapa minggu ini kami saling mendiamkan.

Ting....

Notifikasi WA ku bunyi saat aku sedang melakukan bimbingan bersma anak-anak koas. Sebelum mereka nantinya presentasi dengan konsulen. Aku melirik di balik layar pop up, ada pesan dari Mentari.

Mentari : Kak, nanti mampir ke rumah ya, buat ukur baju.

Aku mengabaikan pesan nya dulu, tidak enak sama anak koas yang sedang mengharapkan tambahan ilmu dari ku. Bagaimana pun aku pernah di posisi mereka, sedikit menjengkelkan kalok senior malah mementingkan HP nya.

"Jadi untuk profilaksinya sama empiris kasih ceftrixone. Untuk terapi definitif pastikan dulu hasil kultural nya seperti apa." Para dokter koas tengah mencatat apa yang aku jelaskan tentang perawatan pasca operasi laparotomy trauma abdomen dengan teliti.

"Sampai sini ada yang ditanyakan?".

Mereka kompak menjawab,"belum ada dok."

"Owh iya jangan lupa dipantau tanda vitalnya, nyeri tekan di bekas operasi nya sama defan muscularnya." Pesan ku untuk yang terakhir kali.

Namun mataku menangkap satu objek yang tidak biasa, dari sekian banyaknya dokter muda yang sedang sibuk mencatat, ada satu dokter muda badung yang asik menumpukan kepalanya di meja dengan mata terpejam.

"RINDU LARAYU..." seluruh dokter muda yang ada di sana terperanjat kaget mendengar suara ku seperti saat tentara memimpin upacara. Tapi tersangka yang aku panggil malah mengubah posisi tidurnya dan menutup kepalanya dengan penutup hoodie.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 22, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mentari Rindu (Series Dejanira) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang