Denting jarum jam menunjukkan pukul 00.00. Jam dimana para manusia normal memejamkan mata, merangkai mimpi indah dengan harapan esok pagi bisa mewujudkan mimpi itu menjadi nyata.
Tapi tidak dengan kami-para nakes. Tidak ada jam tidur yang pasti. Kami bisa tertidur di jam yang tak lazim orang tidur. Pagi bisa menjadi malam pun sebaliknya.
Bukan. Bukan karena kami manusia tak normal, justru kami manusia paling normal yang masih peduli dengan nyawa manusia lainnya.
Di saat kalian mengorbankan kesehatan kalian dengan begadang, kami disini begadang demi kesehatan yang lain.
Suasana rumah sakit Surabaya tengah malam ini masih cukup ramai lalu lalang para pejuang harapan, namun ada pula suara tangis kehilangan para pejuang yang dipatahkan oleh takdir Tuhan.
“Saya dan tim sudah melakukan yang terbaik Pak, mohon maaf tapi kuasa Tuhan ada di atas kami. Semoga Bapak dan keluarga diberi ketabahan, saya turut berduka.”
Aku menepuk pelan bahu Bapak lanjut usia dengan pakaian batik lengan pendek nan lusuh dan kusut di sebagaian ujungnya. Kaki tua beralaskan sendal jepit hampir rusak yang melindungi kakinya dari dinginnya lantai rumah sakit terkulai lemas kala mendengar istri yang sedari kemarin ditungguinya malam ini menghembuskan napas terakhir .
Ada yang lebih berat dari rindu, ketika seorang dokter gagal menyelamatkan nyawa pasiennya. Saat seorang dokter harus mengaku kalah dengan malaikat maut.
Dan yang lebih berat dari itu, ketika dokter harus menyampaikan kegagalannya pada keluarga pasien yang menunggunya dengan sejuta harap.
“Dokter bukan Tuhan Bang, adakalanya kita memang harus mengalah dengan kuasa sang Pecipta.” Kevin yang tergabung dalam tim operasi turut menyemangatiku, dia menurunkan masker birunya dan tersenyum hangat ke arahku.
Jangan kira hanya keluarga pasein saja yang berduka, disini –dalam hati kecil kami para dokter turut menangis dalam diam kala kita gagal menolong satu nyawa.
“Vin, apa bapak itu tidak punya anak.” Aku menatap Bapak eumm lebih pantas disebut kakek dengan peci hitam setengah kemerahan ikut mengiringi langkah para perawat yang mendorong brankar yang di atasnya tertidur raga tanpa nyawa.
Kemana pula anaknya, kenapa membiarkan orang tuanya yang sudah renta berjalan sendirian. Tidak kah sang anak mengingat perjuangan kedua orang tuanya.
Orang tua bisa merawat anaknya sampai tumbuh jadi manusia, semua tidak ada yang jadi keladi. Tapi kenapa setelah dewasa, anak banyak tidak bisa merawat dengan baik kedua orang tuanya.
“Entahlah Bang, dari awal kesini kakek itu datang sendiri bersama istrinya, minta tolong ke para dokter untuk menolong istrinya yang sesak nafas. Tapi para dokter tidak bisa berbuat banyak, karena si bapak belum menyelesaikan biaya administrasi.”
Kevin terdiam untuk sesaat dan mata kamipun saling berpandangan sebelum akhirnya kami sama-sama menghembuskan napas pelan.
“Andaikan kita bekerja berdasarkan sumpah, tidak ada SOP yang mengikat. Semua dokter bisa jadi Albert Schweitzer .” Aku dan kevin tertawa.
Karena pada kenyatannya itu tidak ada. Diagnosa dokter akan diberikan setelah biaya administrasi terpenuhi, istilah kerennya ada uang ada jasa.
Lantas bagaimana dengan yang tak punya? sedangkan bantuan dari pemerintah sendiri kadang masih tidak tepat sasaran.
“Ketika kebijakan di atas segalanya, Vin.”
Sebelum meninggalkan ruang OK. Aku membuka scub dan masker operasiku, lantas membuangnya ke tempat sampah medis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Rindu (Series Dejanira)
Ficción General"Akhir sejati dari penantian adalah pertemuan. Seperti aku yang menemukannya, meski melalui jalan kesalahan." ~ Pradipa Aksadaru Nugroho "Manusia punya keinginan, tapi semesta punya kenyataan. Seperti aku yang tak menginginkan, namun takdir pandai m...