“Bunda itu makin tua, Le. Cepatlah kamu ini cari pasangan. Umurmu sudah cukup matang. Arep ngenteni opo o? Ngenteni bosok?”
Kalimat sadis keluar dari bibir crewet wanita paruh baya yang ku panggilnya Bunda. Beberapa bulan terakhir ini beliau makin crewet menyuruhku mencari pasangan. Padahal jaman sekarang mencari pasangan tidak semudah mencari es tebu di pinggir jalan.
“Bund, Aksa udah pernah bilang kalau Aksa tidak mau terburu-buru. Nikah bukan ajang lomba.”
Drama kebanyakan orang tua. Melihat anak tetangga sudah pada nikah heboh sendiri pengen ikut nikahin anaknya
Padahal nikah bukan hal mudah. Ini menyangkut masa depan. Nikah bukan ajang lomba siapa yang cepat dia pemenangnya, dan yang terkahir dialah yang keluar sebagai pecundang. Yes, nikah tidak seklise ini, banyak hal yang perlu dipertimbangkan.
“Memang bukan ajang lomba. Tapi umurmu itu sudah tua, Le. Apa gak ingin nikah dan punya anak sendiri.” Suara Bunda melunak dan menatap ku begitu lekat.
Aku menghembuskan napas pelan “setiap orang pasti ingin menikah, Bund. Punya anak dan rumah tempat berpulang. Begitupun Aksa, Aksa juga ingin menikah, punya istri yang sayang sama Aksa dan Bunda. Tapi tidak sekarang.” Aku melahap nasi goreng terakahirku, dan membawa piring kotor ke wastafel dapur, menyalakan kran dan mulai mencucinya.
Beginilah rutinitasku setiap akhir pekan. Pulang ke rumah Bunda di kawasan perumahan Sidoarjo, sejenak menghilangkan penat dari rutinitas sebagai dokter dan tentara. Mengunjungi Bunda yang sekarang semakin menua.
“Kapan Sa kapan? Bunda sudah pengen gendong cucu. Lihat si Rifky anaknya sudah mau dua. Temanmu main kelereng dulu semuanya sudah pada nikah, tinggal kamu sendiri Le yang belum. Gak malu?” Bunda menyusul ku ke dapur.
Beliau terus memberondong ku dengan pertanyaan serupa dan hobi sekali membandingkan anaknya dengan anak tetangga.
Kenapa gak Rifky aja yang jadi anaknya Bunda? . Kadang hal itu yang membuatku malas untuk pulang ke rumah. Kalau tidak ingat Bunda tinggal di rumah ini sendirian, terlebih aku juga tidak tahan jika berjauhan dengan wanita yang telah melahirkan dan menjadikan ku seperti sekarang ini.
“Malu kenapa, Bund? status jomblo tidak membuat seseorang terlihat hina kan?”
Oh ayolah apa yang harus dimalukan, jomblo bukanlah aib, itu hanya sekedar status karena Tuhan belum mengizinkan seseorang bersatu dengan pasangannya.
“Kon iku Sa, lak diwuruki wong tuo nyauri terus. Kon iku wes gak ABG maneh. Pantese wes gendong anak, nduwe bojo sing isok ngrumat kon.”
Aku meringis, melihat wajah Bunda yang merah padam, apalagi dengan segala sabda berbahasa Jawa yang keluar dari bibir wanita yang tak hentinya mendo’akan kebaikan untuk ku. Menandakan beliau cukup geram dengan segala elakan yang ku lontarkan.
“Aksa belum butuh seseorang buat ngrawat Aksa. Aksa bukan anak kecil lagi, Aksa bisa ngerawat diri sendiri. Lagian masih ada Bunda yang tak hentinya ngasih perhatian ke Aksa.”
Aku keukuh dengan pendirian ku. Mengabaikan tatapan nyonya Maharani Nugroho yang siap melempari ku dengan pisau dapur yang beliau pegang.
“Terus kon kate nikah lak wis Bunda mati? Ho’oh Le? Ketika Bunda sudah tidak bisa memberimu perhatian, baru kamu mau nikah?”
“Maksud Aksa ."
“Balio ndek asrama kono, gak usah moleh sekalian. Orak sudi Bunda masakne kon maneh, urusono urepmu dewean. Bah-bah no, sak karempu.”
Aku mengulum senyum tipis, melihat wanita yang menjadi cinta pertamaku itu merajuk tidak jelas. Meninggalkan kompor yang masih menyala dan sayur wortel yang belum usai dipotongnya.
Aku mematikan kompor itu, lalu menyusul Bunda yang tengah duduk di depan televisi dengan pandangan kosong.
Seperti banyak sekali beban yang beliau pikirkan, dan mungkin salah satunya adalah aku. Anak tunggal yang selalu beliau banggakan, di usia yang terbilang matang, aku malah menjadi beban dengan status lajang yang tak kunjung usai.
Aku tidak menyalahkan Bunda yang terus menerorku dengan pertanyaan serupa. Bunda sama seperti orang tua pada umumnya, yang menginginkan anaknya hidup bahagia bersama pasangannya. Terlebih mulut tajam para tetangga, relasi dan para kolega.
“Aksa harus bagaimana Bund?” Aku ikut duduk di samping Bunda, lama-lama juga tak tega melihat beliau terus menerus terbebani dengan kesingleanku ini.
Tapi apa boleh buat, hatiku masih terkunci rapat pada satu nama yang telah melangsungkan pernikahan dengan lelaki pilihannya. Hatiku masih perlu ditata untuk bisa menerima cinta baru.
“Sudah dua tahun Le, lupakan gadis itu. Dia bukan untukmu. Bukalah hatimu untuk yang lain.”
Bunda mengelus tanganku pelan.
Beliau memang tahu tentang gadis itu. Aku telah mencereritakan semuanya ke Bunda.Iktan ibu dan anak di antara kami memang sangat erat. Hingga tak sungkan aku mencritakan segala kisah, keluh dan kesah selama aku mengabdi di Papua. Katakanlah aku anak Mama, manja dan lain sebagainya. Nyatanya memang iya. Aku hanya anak Bunda yang lemah karena cinta.
“Aksa sudah berusaha, tapi hasilnya masih sama. Cinta Aksa ke Zahra bukan hanya kagum semata.”
Melankolisnya aku jika sudah berurusan dengan cinta, hingga membuatku tak berdaya. Jadi pria gamon di usia dewasa bukanlah keinginanku. Ini terlalu berat dan melelahkan.
“Show must go on, Sa. Hidup ini terus berlanjut. Temui gadis ini dan mulailah mengenal cinta lagi. Jangan bikin Bunda kecewa, karena cuma kamu satu-satunya harapan Bunda.”
Bunda menepuk bahuku dua kali, sebelum beliau beranjak dari ruangan ini. Tak lupa beliau memberiku selembar foto gadis berhijab yang di belakangnya ada nomor telepon yang bisa ku hubungi.
Aku menhempaskan tubuh ke sandaran sofa. Rasanya aku mirip bujang lapuk yang tak laku, sampai Bunda harus mencarikan ku kenalan wanita seperti ini. Arghh sedari dulu gagal move on memang tak ada baiknya.
Orang yang terus terjebak di masa lalu memang mahluk paling buta yang tidak bisa melihat terangnya masa depan.
“Bismillah semoga dia memang jodoh ku," gumamku pelan sambil melihat lembaran foto ukuran 3x6 yang ada di tanganku.
Aku mengamati wajah gadis dalam balutan gamis floral, dia nampak jelita dengan pakain syar’i, senyumnya manis bagai lelehan gulali.
Sepertinya aku memang harus move on. Aku lelah dianggap pria tak becus mencari pasangan. Bahkan oleh orang tua satu-satunya yang aku punya.
****
Hay hay, saya kembali setelah setahun lebih pertapa 😁 semoga masih ada yang ingat saya dan cerita-cerita saya. Terkhusus dokmil ganteng satu ini.
Masih menebak-nebak siapa jodohnya dokter ganteng?
Gimana part ini? Kurang panjang? Hahaha
Stay tune ya, insyaallah kalau liburan semester saya masih panjang saya usahain bakal konsisten update
Salam sayang dari saya buat kalian 😘
10 Agustus 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Rindu (Series Dejanira)
Fiksi Umum"Akhir sejati dari penantian adalah pertemuan. Seperti aku yang menemukannya, meski melalui jalan kesalahan." ~ Pradipa Aksadaru Nugroho "Manusia punya keinginan, tapi semesta punya kenyataan. Seperti aku yang tak menginginkan, namun takdir pandai m...