8. Keputusan

658 101 331
                                    


Keputusan yang kita ambil adalah yang akan kita jalani ke depannya nanti.”

~ Salwa Haniyah ~

              Sosok pria memakai kaus oblong berwarna putih dengan celana pendek selutut berwarna senada sedang berbaring di atas ranjang king size, sambil memandangi layar benda berbentuk persegi panjang pipih berwarna biru dengan tatapan yang sangat sendu.

             “Mungkin kita memang tidak ditakdirkan bersama. Aku telah menemukan penggantimu, Nabila. Semoga kamu tidak akan pernah kembali dalam kehidupan aku. Kini, aku harus rela mengikhlaskan dirimu pergi dan aku harus bisa mencoba mencintai calon istriku, Salwa,” gumamnya, kemudian menghapus foto-foto yang berada di galeri benda pipihnya. Foto seorang wanita berambut coklat memiliki poni di depan sedang duduk manis di taman.

       Ia meletakkan benda tersebut di atas nakas.

        “Besok pertemuan orang tuaku dengan Salwa. Aku tidak menyangka semua akan terjadi seperti ini,” gumamnya, kemudian pria itu memejamkan mata dengan sempurna.

         Sementara di sisi lain, sosok wanita memakai piyama berwarna putih yang berpadu dengan warna merah muda bermotif gambar hewan berkumis, memakai pita berwarna merah muda di atas telinganya, sedang berdiri di balkon depan kamar tidurnya. Wanita itu mendongakkan kepalanya ke atas, menatap langit kelam yang terlihat sangat cantik karena dihiasi oleh taburan bintang yang bersinar.

        Apakah ini keputusan yang tepat? Padahal awalku memberi syarat itu supaya dia menyerah. Nyatanya, dia beneran menyanggupi.

          Namun, kalau memang jodoh, aku juga nggak bisa menghindarinya, kan?

        “Sebelumnya aku tidak pernah mengenal cinta walau aku penulis romansa. Aku tidak pernah mencintai seseorang dan tidak pernah, hingga usiaku saat ini. Apakah aku bisa menjalankan ini semua?”

Salwa mengembuskan napasnya. “Lebih baik aku menulis saja. Bisa depresi aku lama-lama di sini,” gumamnya, kemudian, melangkahkan kakinya menuju kamar.

        Salwa membuka laci nakas berwarna cokelat, mengeluarkan sebuah benda berbentuk persegi berwarna hitam. Ia menduduki ranjang queen size seperai berwarna merah muda bermotif boneka beruang putih. Ia meletakkan benda tersebut di atas pahanya yang tertutup oleh celana panjang berwarna putih. Ia akan mulai menulis kembali.

        Semoga dengan menulis, aku tidak galau soal mas Bintang.

***


             Sesuai kesepakatan semalam, kedua keluarga itu akhirnya mengadakan pertemuan di restoran Haniyah. Kedua keluarga tersebut menempati sebuah tempat ruangan lantai dua, meja kaca yang sudah tertera nomor dua puluh empat. Terletak di ujung dekat dengan jendela besar yang terbuka lebar, menampakkan langit biru, benda bersinar terang begitu memancar, menyebabkan silau jika dipandang. Awan putih masih senantiasa bertengger, ikut menghiasi langit.

             Tak lama, sosok wanita berjilbab berwarna biru navy dengan mengenakan gamis berwarna senada bersamaan dengan sosok pria bertubuh tinggi memakai tuxedo berwarna biru navy dan celana berwarna senada. Begitu pun orang tua mereka baru sampai setelah mereka datang.

                 Galang mengeruutkan keningnya, melihat abi dari Salwa itu. Ia seperti mengenali orang tersebut.

                  “Eh, sebentar. Kamu itu … Abizar! Ah, kamu ini sibuk mengurus pesantren, jadi kita tak pernah berjumpa lagi,” ujar Galang. Abizar mencoba mengingat wajah pria paruh baya di hadapannya.

Mendadak Marriage [Sudah Terbit 🥰]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang