Lembar Keempat

955 212 39
                                    

"Kalian habis dari mana?"

Suara menusuk bak mata pisau milik ibu mereka terdengar ketika (Y/n) hendak membuka pintu rumahnya. Ia tidak mengendap-endap lagi masuk ke dalam kamarnya melalui jendela. Karena ia pikir, ibunya cepat atau lambat pasti akan mengetahuinya. Maka dari itu, ia sudah menyiapkan mental.

"Dari restoran ramen," jawab (Y/n) jujur.

"Apakah kau tak mendengar perkataan Kaa-san, (Y/n)? Kau masih sakit, seharusnya kau istirahat lebih banyak dan jangan keluyuran ke luar rumah!" seru ibunya. Dari nada suaranya, (Y/n) tahu wanita itu tengah marah besar. "Kau, Keisuke. Seharusnya kau tidak mengajak adikmu ke luar rumah. Ia masih butuh istirahat! Demamnya bisa semakin bertambah parah jika ia kurang istirahat!"

"Memang akulah yang mengaja—"

"A-Aku yang meminta Nii-chan menemaniku ke luar! Bukan salah Nii-chan, ini salahku, Kaa-san," sela (Y/n), memotong kalimat yang hendak Keisuke katakan.

Lelaki bersurai hitam itu sontak menoleh dengan heran ke arah adiknya, (Y/n). Sebagai seorang kakak, sudah sepantasnya ia melindungi (Y/n) yang merupakan adik perempuan satu-satunya. Tidak peduli jika ia harus berbohong ataupun berakting demi gadis itu.

"Jika Kaa-san ingin menghukumku, maka aku akan menerimanya. Namun, jangan menghukum Nii-chan. Kaa-san bisa berjanji padaku, bukan?"

(Y/n) menatap serius ke arah ibunya. Sudah cukup bagi Keisuke karena terus melindunginya. (Y/n) tidak ingin membuat kakaknya itu menjadi seorang pembohong hanya demi dirinya saja. Saat ini, (Y/n) sudah bukanlah anak kecil yang masih perlu diberitahu jika satu tambah satu sama dengan dua, bukan jendela.

Selama ini, (Y/n) pun telah berusaha. Ia berusaha menghadapi para pem-bully di sekolahnya yang masih sering mem-bully dirinya. Meskipun beberapa kali ia sempat merasa takut, tetapi belakangan ini mentalnya telah menjadi lebih kuat. Ia sudah tidak selemah dulu lagi. Justru ia harus berterima kasih kepada Haku dan anak buahnya karena terus mem-bully (Y/n) hingga membuatnya menjadi pribadi yang seperti saat ini.

"Tidak mungkin Kaa-san menghukum anak Kaa-san sendiri. Terlebih kau sedang sakit saat ini, (Y/n)." Tatapan ibunya tertuju pada gadis itu.

"Masuklah. Tidak baik terkena udara dingin di luar," titah ibunya seraya membuka pintu lebih lebar.

(Y/n) melangkah masuk lebih dahulu, menyusul ibunya. Kepalanya menoleh ke belakang. Menatap ke arah Keisuke yang masih berdiri mematung di posisi awalnya. Gadis itu mengucapkan 'terima kasih' tanpa suara dan kemudian disertai oleh senyuman hangat. Lalu, ia pun masuk ke dalam rumah meninggalkan Keisuke yang menatapnya dengan bangga seraya tersenyum.

***

Hari ini masih sama dengan sebelumnya. Hanya saja, yang berbeda adalah keadaan rumahnya yang terasa hening. Saat ini (Y/n) berada seorang diri di rumahnya. Ibunya tengah pergi ke supermarket dan Keisuke pun menemaninya. Lebih tepatnya, ia dipaksa.

Tidak mungkin lelaki dengan surai berwarna senada dengan (Y/n) itu akan meninggalkan gadis itu seorang diri di rumah. (Y/n) hanya mengatakan jika ia akan baik-baik saja meskipun sendirian di sini. Faktanya pun memang demikian. Ia baik-baik saja hingga detik ini. Demamnya pun sudah mulai turun dan pening di kepalanya perlahan menghilang.

Gadis itu beranjak dari pembaringan. Ia bergerak menuju dapur untuk menghilangkan dahaganya. Setibanya di sana, ia langsung mengambil gelas dan mengisinya dengan air dari dispenser.

Seusai puas dengan menghabiskan satu gelas penuh, (Y/n) berjalan menuju ruang tengah. Ia duduk di atas sofa yang menghadap di depan televisi. Di layar televisi, ia bisa melihat bayangan dirinya sendiri. Tampak tengah bingung hendak berbuat apa.

Alhasil, (Y/n) menyalakan ponselnya. Benda pipih itu langsung bergetar berkali-kali setelah berhasil dinyalakan. Wajar saja, (Y/n) sama sekali belum menyentuh ponselnya semenjak ia jatuh sakit. Pikirannya hanya dipenuhi oleh tidur, tidur, dan tidur. Tidak ada pikiran tentang memainkan ponselnya apalagi mengerjakan tugas.

Sebuah pesan yang dikirim dua jam yang lalu tampak menarik perhatian (Y/n) karena berada di urutan paling atas layar ponselnya. Gadis itu menekannya, tanpa melihat siapa pengirimnya karena ia tahu pengirim itu tidak menggunakan nama aslinya. Bola matanya berputar jengah ketika ia melihat isi pesan yang sudah biasa ia terima itu.

"Apa yang sedang kau lihat?"

Suara tepat di belakangnya itu mengejutkan (Y/n) seketika. Ia hampir saja menjatuhkan ponselnya ke atas lantai. Yang selamat karena lebih dahulu ditangkap. Namun, bukan (Y/n)-lah yang menangkapnya. Melainkan suara di belakangnya tadi.

"Nii-chan! Jangan lihat isi ponselku!" (Y/n) menaiki sofa, berusaha menggapai ponselnya sendiri. Namun, Keisuke justru melangkah menjauh dari (Y/n). Ia masih sibuk membaca pesan-pesan tak berperikemanusiaan itu yang dikirim untuk adiknya.

(Y/n) hanya bisa pasrah. Rahasianya yang selama ini ia simpan dengan rapat, terbongkar hanya karena ia tidak menyadari kepulangan kakak dan ibunya. Mengingat akan hal itu, (Y/n) sontak langsung mencari di mana ibunya. Semoga saja wanita itu telah berada di dapur atau menganggap pertengkaran tadi adalah pertengkaran yang biasa terjadi.

"Mengapa kau diam saja selama ini?" hardik Keisuke.

Gadis itu diam sejenak. Ia sengaja diam karena ia ingin berusaha melindungi dirinya sendiri, tanpa bantuan kakaknya di sana. Namun, alih-alih demikian, justru saat ini Keisuke telah tahu fakta yang ada dan pastinya ia tidak akan tinggal diam begitu saja.

"Aku ingin berusaha sendiri. Itu saja," jawab (Y/n) setelah memikirkan kalimat yang paling tepat.

Keisuke melempar ponsel (Y/n) ke arah gadis itu. (Y/n) pun langsung menangkapnya dengan sigap. Karena jika ponselnya jatuh dan rusak, ia tidak yakin bisa membeli yang baru.

"Lakukan saja sesukamu. Aku tidak peduli."

Seusai berkata demikian, Keisuke meninggalkan (Y/n) di sana. Hanya seorang diri dengan tatapan nanar yang ditujukan ke arah sang kakak dari balik punggungnya.

***

END ━━ # . 'Hi, Brother! ✧ Baji KeisukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang