bladzijde 2

1.6K 312 41
                                    

Selalu ada perasaan tak rela kala Alvarendra harus meninggalkan halaman rumah sederhana Aksara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selalu ada perasaan tak rela kala Alvarendra harus meninggalkan halaman rumah sederhana Aksara. Seperti ada sesuatu yang membuat langkahnya berat saat harus pergi dari sana.

Setiap kali ia mengantar anak itu pulang, saat itu juga ia merasa tidak pernah tega meninggalkan Aksara. Ia ingin membawa anak itu pulang, pulang ke rumah yang sebenarnya.

Belum saja langkahnya pergi dari sana, suara raungan seorang wanita terdengar. Itu suara wanita yang selalu ia dengar saat mengantar Aksara pulang.

Itu suara Mika, ibunya Aksara.

"Kamu bolos lagi, kan?! Mau jadi apa kamu?! Sudah bodoh, kerajaan membolos terus-menerus. Kamu pikir sekolah itu cuma buat main-main, hah?!"

Sama seperti hari-hari sebelumnya. Suara wanita itu menggema, sesekali terdengar benda pecah yang juga menjadi teman dari suara wanita itu.

Dan sampai saat ini, ia tidak memiliki keberanian untuk mendekat. Untuk menarik Aksara supaya menjauh dari wanita itu.

Karena ia tahu, ia tidak layak untuk membawa Aksara. Ia bukan siapa-siapa.

Dan seperti biasa, lagi, untuk yang kesekian kali, ia hanya bisa melangkah pergi. Meninggalkan semua rasa khawatir yang menumpuk di hati.

"Ibu, jangan teriak-teriak. Nanti darah tinggi Ibu naik lagi. Kalau Ibu sakit, aku juga yang sedih. Udah, ya? Aku minta maaf."

Seperti biasa. Aksara harus naik ke atas sofa usang di rumahnya guna menghindari amukan sama ibu.

Mika menekan amarahnya kuat-kuat. Tangannya menggenggam gagang sapu dengan erat.

Aksara melihat wanita itu dengan wajah ngeri. Takut, jika gagang sapu itu bisa saja patah hanya karena genggaman ibunya.

"Bu, maafin Aksara. Janji, besok nggak gitu lagi!"

"Bohong!" Mika membanting sapu itu ke atas lantai. Tangannya menuding wajah Aksara yang sudah pucat ketakutan. "Saya nyesel karena sudah membesarkan kamu."

Ini kata-kata yang tak pernah ingin Aksara dengar. Tetapi sayang, ibunya selalu mengatakan kalimat demikian. Kalimat yang membuat dadanya sakit seperti dihujam ribuan jarum.

"Ibu, jangan bilang gitu dong. Ini aku seriusan minta maaf. Besok nggak diulangin lagi. Janji!"

Namun semua kata-kata Aksara tak akan pernah Mika dengar. Wanita itu dengan marah menunjuk ke arah pintu.

Tanpa Aksara menunggu wanita itu buka suara, Aksara tahu, bahwa malam ini ia harus tidur di luar lagi.

"Bu ... maafin Aksara dong. Di luar dingin, gelap juga. Banyak nyamuk lagi. Nanti kalau Aksara kena demam berdarah gimana?"

"Bukan urusan saya. Kamu mau mati juga bukan urusan saya. Keluar! Atau, pergi dari rumah ini selamanya? Silahkan pilih."

Aksara segera beranjak turun. Ia tidak mau memilih opsi kedua. Lebih baik bermalam di luar daripada harus meninggalkan rumah ini dan ibunya.

Swastamita (re-publish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang