bladzijde 12

1.1K 229 103
                                    

Alvarendra masih terkejut dengan kedatangan Aksara yang tiba-tiba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alvarendra masih terkejut dengan kedatangan Aksara yang tiba-tiba. Anak itu datang begitu saja ke kampusnya dengan wajah tanpa dosa. Tak dipedulikan pekikan gemas dari mahasiswi di sana.

"Kamu ngapain ke sini? Kampus Kakak sama sekolah kamu 'kan jauh, Sa." kata Alvarendra begitu menyerahkan satu botol minuman dingin kepada Aksara.

Kini mereka berdua sedang duduk di gazebo dekat parkiran. Alvarendra terpaksa harus membawa Aksara ke sini, setelah tadi melewati beberapa gadis yang menghadang mereka.

"Mau cari cecan hehe."

"Bocil jangan sok tebar pesona. Mereka pacaran sama kamu, berasa tante lagi jagain ponakan."

"Aku nggak se-bocah itu juga kali!"

Alvarendra menaikkan bahu acuh, kemudian menenggak minumannya.

"Sa," panggil Alvarendra setelah cukup lama diam.

Aksara menoleh dan berdehem sebagai jawaban. "Kenapa Kak?"

"Maafin Kakak."

Kedua alis Aksara menyatu bimbang. Tak paham dengan kata-kata yang baru saja Alvarendra katakan.

"Kenapa tiba-tiba minta maaf? Waktu Kakak udah dekat?"

"Ngawur!" Tangan Alvarendra reflek memukul kepala Aksara. "Mau minta maaf aja pokoknya."

Alvarendra menoleh, menatap bagaimana wajah bingung Aksara menuntut sebuah penjelasan.

Ia tidak mau mengatakan sebab dan kenapa ia mengatakan hal seperti ini. Karena ia sendiri tidak siap. Karena ia merasa bersalah dengan Aksara.

Sangat.

Selama ini, ia menilai Aksara sebagai dia.

Jadi, bagaimana ia tega mengatakan semuanya?

"Sore nanti kita jalan-jalan, mau? Ketemu seseorang?"

Alvarendra baru ingat. Bahwa Kirana sudah kembali ke Jakarta kemarin sore. Nakula yang memaksa wanita itu untuk menjalani pengobatan di sini. Agar banyak orang yang bisa menjaga Kirana secara bergantian.

Mau tak mau, Kirana menuruti permintaan sang kakak ipar. Wanita itu juga sempat bertemu dengan Bayanaka kemarin.

Keadaan Bayanaka dalam empat tahun terkahir ini tidak ada perubahan. Lelaki itu tetap meracau, memanggil nama sang putra.

Bahkan tak terhitung berapa kali Bayanaka mencoba untuk membunuh dirinya sendiri.

"Kemana, Kak? Ketemu siapa?"

"Ada deh. Kamu pasti suka ketemu beliau."

Dan Aksara hanya bisa menurut saat Alvarendra menyeretnya pergi ke sebuah rumah sederhana ber-cat pituh gading itu.

Swastamita (re-publish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang