bladzijde 17

805 173 41
                                    

"Xel, kapan kamu mau mempertemukan Mama sama anak itu?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Xel, kapan kamu mau mempertemukan Mama sama anak itu?"

Ajeng menatap Axel yang kini sedang merebahkan tubuhnya di sofa. Menggunakan pahanya sebagai bantalan.

Axel mendongak, lantas tersenyum. "Hari ini deh. Kebetulan aku yang bakal jemput dia ke sekolah."

Senyum Ajeng mengembang begitu mendengar ucapan Axel. "Beneran, sayang? Mama nggak sabar mau ketemu dia. Kalau gitu, nanti Mama bakal masakin banyak untuk dia. Dia suka makanan apa?"

Axel bangkit, lalu duduk di samping Ajeng. Cowok itu meraih tangan mamanya, untuk di genggam. "Aksara suka apa aja. Mama jangan capek-capek. Jangan maksain diri sendiri. Aksara nggak banyak nuntut, kok."

"Nggak, sayang. Mama nggak kenapa-kenapa. Lagian ini pertemuan pertama Mama dengan Aksara. Mama mau kasih kesan yang baik ke dia."

"Ma, kalau seandainya dia masih ada, apa Mama akan berubah?"

Ajeng diam sejenak. Wanita itu memandang hampa ke depan. Rumah ini terasa hening selama empat tahun silam. Walau pun ada Navie dan Axel, Ajeng masih merasa ada yang hilang.

Ya, mungkin itu karena sosok Bayanaka dan juga dia. Sosok yang tak akan pernah pulang. Sosok yang tak akan pernah bisa ia raih ke dalam pelukan.

"Mama nggak akan berubah. Tapi setidaknya Mama akan memberikan dia ruang untuk merasakan kasih sayang papa nya." kata Ajeng.

Axel menggigit bibir bawahnya. "Maafin Axel, Ma."

Tangan Ajeng mengusap pipi Axel dengan lembut. Tatapan wanita itu juga melembut. Tatapan yang justru membuat Axel semakin hancur. "Kamu nggak salah, sayang. Di sini yang salah itu kami. Sebagai orang tua, kami hanya memikirkan ego masing-masing. Seandainya kami lebih dewasa, semua ini tidak akan pernah terjadi."

Bahkan sosok itu pergi dengan kesedihan. Sosok itu belum menemukan bahagia yang dia cari. Dan juga, tidak ada salam perpisahan sama sekali. Semua begitu tiba-tiba, seolah seperti mimpi.

Terkadang ketika bangun dari tidur, Ajeng selalu berharap bahwa semua ini masih lah mimpi. Bahwa ketika ia menoleh ke samping tempat tidur, ia masih bisa menemukan sosok Bayanaka. Dan juga, ketika ia keluar dari kamar, ia bisa menemukan sosok dia yang duduk di meja makan.

Akan tetapi, empat tahun ini, tidak yang terjadi.

Ia tidak bisa menemukan sosok Bayanaka ketika ia membuka mata. Tempat di sebelahnya tetap dingin. Kamarnya pun hening.

Ketika ia berjalan ke arah ruang makan, lagi-lagi hanya sepi yang ia temui. Tidak ada seseorang yang duduk di sana. Tidak ada suara hangat yang menyapa dan mengucapkan selamat pagi padanya.

Semesta memberitahu, bahwa ini nyata. Bahwa ini bukan ilusi atau hanya mimpi. Bahwa sosok itu telah benar-benar pergi. Dan bahwa Bayanaka tidak berada di sini.

Swastamita (re-publish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang