bladzijde 13

1.1K 243 179
                                    

Aksara harus menghela napas panjang untuk yang kesekian kali sejak beberapa menit lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aksara harus menghela napas panjang untuk yang kesekian kali sejak beberapa menit lalu. Itu semua karena ia harus banyak-banyak sabar dalam menghadapi tingkah Fatar yang semakin membuatnya ingin jungkir balik saking kesalnya.

Tadi, ibunya menitipkan Fatar padanya, hingga dengan terpaksa ia bolos bekerja. Jika bukan karena ibunya, Aksara tidak sudi untuk berlama-lama dengan anak ini.

"Buatin gue mie rebus dong. Ujan-ujan gini enaknya makan yang anget-anget. Tapi mie nya jangan banyak kuah, kuahnya sedikit aja, terus harus kental. Habis itu jangan dikasih bumbu terlalu asin, gue nggak suka asin." kata Fatar sembari mendudukkan dirinya di sofa usang milik Aksara.

Aksara yang sedang mengganti perban di sikunya hanya mendesah lelah. Ia kemudian melirik ke atas meja. Di sana ada sepiring nasi goreng yang belum Fatar sentuh sama sekali. Padahal tadi anak itu memintanya untuk membuatkan nasi goreng. Bahkan  merengek tanpa henti.

"Heh! Kok diem aja sih? Tuli, ya? Atau lo marah sama gue, karena nasi gorengnya nggak gue sentuh sama sekali?"

Udah tau, pake nanya! Aku lempar kamu pake tabung gas juga lama-lama!

Aksara menggerutu dalam hati.

"Sabar, gue ganti perban ini dulu," jawab Aksara dengan lembut. Berusaha menahan semua emosi yang sebenarnya sudah meledak di dada.

"Manja banget, luka gitu doang! Buruan ih! Gue pengen makannya sekarang!"

"Ck, lo pikir gue ini babu lo apa?!" Akhirnya Aksara turut kebawa emosi. Fatar bukan tipe anak yang bisa diberi pengertian sekali langsung mengerti.

Sepertinya anak ini lebih suka kekerasan. Baik! Aksara juga tidak takut lagi. Di sini ia lebih tua, tidak ingin harga dirinya diinjak-injak oleh bocah tengik seperti Fatar!

"Apa? Mau nangis?! Mau ngadu sama Ibu? Ngadu aja sana! Ngadu sana!"

Kedua tangan Fatar mengepal. Anak itu berdiri dengan kasar lalu menghampiri Aksara. Ia tendang tulang kering yang lebih tua, sampai Aksara memekik kesakitan.

Sialan, Fatar!

"Lo—" Aksara hendak membalas, tapi semua pergerakannya tertahan di udara. Ia duduk kembali, dengan terus mengusap bekas tendangan Fatar.

Bukan ia tidak berani. Ia hanya malas berurusan dengan ibunya. Jika ia sampai membuat Fatar terluka, maka bisa-bisa ia akan dihempas keluar dari rumah saat ini juga.

Ia tidak mau!

"Kenapa?! Pengecut!"

"Gue bukan pengecut. Tapi seorang jagoan nggak pernah menindas yang lemah. Gue merasa jagoan, makanya males berurusan sama pihak lemah." kata Aksara dengan santai.

Urat leher Fatar menonjol karena emosi. "Lo bilang gue lemah?!"

"Nggak ada tuh. Gue nggak ada sebut nama lo, 'kan? Lo sendiri berarti yang merasa lemah. Ups! Canda lemah."

Swastamita (re-publish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang