bladzijde 16

1.1K 215 53
                                    

Hanya tinggal dua bulan lagi Aksara akan mengikuti Praktik Kerja Lapangan yang akan diselenggarakan setelah ujian sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hanya tinggal dua bulan lagi Aksara akan mengikuti Praktik Kerja Lapangan yang akan diselenggarakan setelah ujian sekolah. Bahkan Aksara sudah memilih tempat dari jauh-jauh hari bersama teman-temannya.

Untuk tahun ini, siswa di bebaskan memilih tempat dan kelompok masing-masing. Kesempatan yang Aksara gunakan untuk memilih tempat yang masih dekat dari daerah rumahnya.

Semua biaya sudah Alvarendra lunasi. Bahkan Cakra juga sudah membelikan beberapa baju untuk anak itu. Hanya saja, belum Cakra berikan kepada Aksara.

Jihan dan Axel pun tak mau kalah. Keduanya kerap kali memaksa Alvarendra untuk membiarkan mereka membantunya dalam membiayai sekolah Aksara.

Akhirnya, Alvarendra membiarkan keduanya melakukan apapun yang mereka mau. Ia tahu, mereka hanya sedang memperbaiki waktu yang telah mereka rusak di masa lalu.

Aksara mengedipkan kedua matanya saat perempuan di hadapannya ini tersenyum. Kirana. Perempuan itu meminta Alvarendra untuk mempertemukannya dengan Aksara.

Pertemuan kedua mereka, awalnya Aksara ragu, takut jika Kirana masih belum cukup siap untuk bertemu dengannya. Tetapi untung lah, perempuan itu terlihat sudah biasa saja.

"Ayo sayang, di makan lagi." Kirana mendorong sayur sup yang baru saja ia masak, kehadapan Aksara.

"Ehehe, aduh, Ma, tapi aku udah kenyang banget. Ini boleh di bungkus aja, nggak, sih? Nanti Aku makan di rumah." ucap Aksara yang memandang sendu semua makanan yang Kirana masak.

Kirana tertawa kecil, begitu pula dengan Alvarendra yang duduk tidak jauh dari mereka. Alvarendra duduk di ruang tengah, namun masih bisa melihat interaksi antara Kirana dan Aksara.

"Boleh, dong, sayang. Bawa aja semuanya. Mama malah suka."

Tidak ada kecanggungan di antara keduanya. Bahkan Aksara pun tak merasa canggung lagi ketika memanggil Kirana dengan sebutan seperti itu.

"Bener, Ma? Boleh aku bawa semuanya?" Kedua mata Aksara berbinar cerah.

"Bener sayang. Atau mau Mama masakin yang lain?"

"Eh enggak, Ma, nggak usah. Ini aja udah lebih dari cukup."

Kirana tersenyum, lantas mengusak rambut Aksara.

Alvarendra berjalan mendekat. "Tan, kayaknya kita harus pulang sekarang. Udah malem juga. Kasian Aksara." ucapnya.

Kirana menoleh ke arah Alvarendra dengan tatapan tak rela. "Aksara nggak bisa tidur di sini aja? Besok Tante deh, yang anter dia ke sekolah."

"Maaf, Ma. Tapi aku harus pulang. Ini bukan rumah aku, rumah aku ada di sana. Walau rumah aku nggak se-nyaman rumah Mama, tapi rumah itu peninggalan mendiang Ayah." sahut Aksara.

Kedua orang yang mendengar itu hanya bungkam. Kirana mati-matian menahan sesak di dada.

Dulu, ia tak pernah mengijinkan anaknya untuk tinggal. Ia bahkan dengan tega mengusir anak itu. Tidak peduli malam ini anak itu akan tidur di mana.

Swastamita (re-publish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang