Act 08

440 104 25
                                    

          Pukul delapan pagi, Rose terbangun dari tidur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

          Pukul delapan pagi, Rose terbangun dari tidur. Kepalanya terasa begitu pening serta tubuh terasa tidak seimbang.  Kelopak mata yang masih berat, dia paksa agar terbuka dan saat fragmen kesadaran bersatu, Rose melihat langit-langit kamar yang berwarna putih. Tidak ada yang berbeda, setiap hari memang itu yang Rose lihat tatkala buka mata sehabis tidur.

Beberapa waktu kemudian, Rose tarik nafas panjang karena terasa samar dengan ingatan kemarin malam. Dia tolehkan kepala ke kanan dan melihat obat-obatan berserakan di sisi ranjang bahkan lantai di bawah sana.

Seakan memori ditarik kembali dari ubun-ubun, impresi satu persatu mulai kembali memenuhi mantik gadis itu. Setiap perkataan papa semalam tersemat jelas di kepala, perihal tidak boleh berhubungan lagi dengan Veedan atau lelaki itu akan celaka. Tiba-tiba, bulir air mata jatuh basahi pipi Rosena.  Manik gadis itu menyendu karena Rose tidak sanggup melakukan keinginan papa, tetapi Rose lebih tidak bisa jikalau Veedan kenapa-napa karena dirinya.

Haruskah sudahi jalinan romansa dengan Veedan demi menjaga lelaki itu?

Rose hanya mengingat itu lalu tiba-tiba momen saat mama dan papa bertengkar muncul dalam kepala.  Sekonyong-konyong Rose merasakan hatinya membara. Dia harus alami mimpi buruk karena Melisa, papa tetap beri perbedaan perlakuan bahkan saat gadis itu mati. Sekarang pun dia dipaksa berpisah oleh Veedan, sangat tidak adil.

Drdt.....Drdt.....

Dering ponsel detik itu sukses pecahkan atensi Rose. Total dia meraih ponselnya di nakas lalu melihat dari siapa telfon yang buat pondel berdering. Ternyata sebuah panggilan dari Veedan. Rose tidak tahu harus lakukan apa ; ingin beri jawaban, tetapi tidak mau terjebak dalam rasa yang membuatnya sakit tatkala sang papa benar-benar celakai lelaki itu. Pun dia tidak mau, jika suatu waktu Veedan tahu kondisinya perihal dirinya yang seorang pengidap Dissociative Identity Disorder.

Selama ini, Rose telah melawan kesakitan  selama tiga tahun sehingga tidak lagi diganggui suara  dalam kepalanya. Suara yang memercik kebencian pada Melisa lantas setelah Melisa mati, suara itu turut mati. Rose pikir sudah sembuh, kendati tetap saja Rose konsumsi obat untuk jaga-jaga. Akan tetapi, kemarin suara dalam dirinya telah bangkit dan Rose tidak tahu hal apa yang akan memakan setiap jengkal jiwanya.

"Maaf Veedan. Kurasa kita cukup sampai disini." Lirih Rose kemudian beranjak dari ranjang.

Dia melangkah kecermin. Mengambil sisir guna merapikan rambut. Setelah ini akan mandi untuk menenangkan pikiran. Namun baru saja selesai menyisir rambut, pintu kamarnya terbuka. Menampilkan sosok mama di ambang pintu.

"Rosena sudah bangun?" Tanya mama sembari melangkah ke arahnya. "Ayo sarapan bersama. Papa sudah tunggu kamu di bawah."

Rose hanya terdiam. Dia menatap dirinya dari pantulan cermin. Rose juga melihat mama dari pantulan cermin, tidak berniat menoleh ke arah mama. Rose merasa lucu dengan sikap mama, benar-benar ingin marah dengan mama.

Renjana [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang