Act 12

389 96 26
                                    

     

     

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

××|××

         Selama ini, Veedan telah melewati banyak hari menyakitkan karena kehilangan. Terbelenggu rasa sesak karena satu demi satu orang pergi dari hidupnya. Mulai dari papa, lalu sekarang mama. Bahkah Veedan belum sempat meminta maaf pada mama atas segala keegoisan yang dia junjung tinggi selama ini. Dia telah gagal menjadi seorang anak. Andaikan, dulu Veedan memberi mama kesempatan untuk jelaskan semua yang terjadi dari perspektif mama—mungkin dia tidak akan merasa seburuk ini.

Bukan, Veedan tidak ingin pula salahkan nenek atas semua yang terjadi termasuk sebab dia terpisah dari sang mama. Namun, Veedan marah pada dirinya sendiri, dia malu pada mama yang telah melahirkan dan merawatnya sampai di berumur delapan tahun, tetapi belum ada yang bisa Veedan lakukan untuk kebahagian mama. Veedan merasa hancur. Dia tidak bisa sembunyikan tangisan saat mama diturunkan ke liang lahat, menyatu dengan tanah.

Tubuh lelaki itu bergetar hebat. Dia berdiri, tetapi tidak ada daya. Serasa ingin ambruk, tetapi sebuah tangan  menggandeng seakan beri isyarat bahwa Veedan harus tetap berdiri kokoh untuk penghormatan terakhir bagi sang mama. Siapakah orang itu? Tentu saja Rosena. Gadis itu berdiri di samping Veedan sembari mengalungkan tangan di lengan Veedan. Usapan lembut gadis itu mengatakan bahwa Veedan harus kuat, walaupun nanti tangis akan meledak.

Rose menatap sendu pada Veedan. Bisa dia rasakan bahwa lelaki itu tengah hancur berkeping-keping. Kehilangan orang yang kita sayang adalah mimpi buruk bagi setiap orang. Rose pernah merasakan itu, dia pernah merasakan hancur di mana sosok yang dia benci dan sayang yaitu Melisa pergi dari dunia ini secara mendadak. Saat itu Rose turut membawa banyak sesal. Maka dari itu, Rose paham betul apa yang Veedan alami sekarang.

Perlahan, gadis itu dekatkan labium pada telinga sang kekasih. Rose berbisik pelan, "Tak apa menangis, tetapi kakimu harus tetap berdiri kokoh untuk mama. Jika kamu rasa hendak jatuh, jadikan bahuku untuk alasnya."

Kelopak mata Veedan menutup sejenak. Dia ulurkan tangan kiri dan menggenggam tangan Rose yang masih bergelayut pada lengannya. Genggaman tangan Veedan sangat kuat.

"Sakit—sakit sekali rasanya." Lirih lelaki itu.

Tidak butuh waktu lama, Rose pakai  tangan satunya untuk peluk Veedan dari belakang. Jemari halus sang gadis mengusap punggung Veedan guna salurkan afeksi.

"Aku disini Veedan, keluarkan saja semuanya."

.

.

.

.

Prosesi pemakaman berjalan  tenang. Semua teman dan kolega mama dan papa tiri Veedan juga hadir dalam pemakaman. Rumah duka juga masih ramai dengan orang-orang yang melayat. Oh iya, rekan kerja Veedan serta teman sekolah Alin turut datang memberi semangat untuk mereka. Mama dan papa Rose pun hadir tadi saat prosesi pemakaman. Kendati pamit lebih dulu karena ada operasi di rumah sakit.

Renjana [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang