Jakarta, Indonesia
Karena banyak pekerjaan dikejar deadline, Veedan harus berusaha lebih keras. Masalahnya, beberapa majalah baru harus selesai proses editing minggu ini. Pekerjaan Veedan adalah pegawai intership bagian desain dan editing disebuah majalah multinasional. Hampir satu tahun dia bekerja di sana dengan gaji yang sangat memuaskan.
"Ya Tuhan, kenapa sore begini aku ngantuk sih?"
Veedan menggerutu, dilepas kacamata yang dia kenakan. Berada di depan macbook selama berjam-jam membut mata Veedan lelah. Padahal sudah memakai kacamata anti radiasi.
Daripada semakin parah, Veedan putuskan beristirahat. Beranjak berdiri dari meja kerja kemudian melangkah menuju ranjang tempat tidur sembari memijat pelipis.
"Cari uang gini amat susahnya."
Veedan membaringkan tubuh di atas ranjang. Kedua tangan ditaruh di bawah kepala sebagai bantal. Manik Veedan bergulir menatap langit-langit kamar.
Nafas panjang memecah keheningan kamar. Lelaki keturunan Jawa-Batak itu bertanya dalam hati perihal hidupnya yang menyedihkan. Mengapa semesta merenggut semua kebahagiaan Veedan sejak belia?
Bukankah seharusnya kehidupan Veedan baik-baik saja sekarang?
Hidup sangat tidak adil. Veedan berusaha menjalani, tetapi semesta seakan benci padanya. Merenggut apa-apa yang Veedan punya. Lalu menjebaknya dalam perasaan rindu dan benci terus menerus. Rasanya ingin menukar hidup dengan orang lain agar bahagia.
Suatu hari, pernah Veedan berpikiran untuk bunuh diri. Akan tetapi, dia sadar bahwa itu tanda kekalahan kita menghadapi permainan semesta. Ibarat sebuah turnamen bertahan hidup dari ranjau darat, kita dituntut menapak pada bagian yang benar agar tidak mati.
Veedan tidak mau semesta yang sudah mempermainkan hidupnya, sekali lagi tertawa di atas kesakitan Veedan kalau-kalau dia bunuh diri.
Hendak terlelap setelah larut dalam pikiran dalam, ponsel Veedan berdering. Kontan dia terperenjat bangun.
"Astaga. Baru mau tidur, ada aja halangannya."
Terpaksa Veedan bangun untuk mengambil ponsel. Kelopak mata yang berat dia paksa membaca layar hologram ponselnya. Dering telfon ternyata dari sekretariat perumahan tempat Veedan tinggal. Buru-buru, Veedan angkat telfon itu.
Dengan Veedan Langit Sabhumi?
Iya, saya sendiri. Gimana ya pak?
Kamu bisa kesini tidak? Ambil sertifikat rumahmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana [✓]
أدب المراهقين(n) renjana : rasa hati yang kuat Veedan sering mempertanyakan keadilan semesta mengenai perkara masa lalu yang amat kejam merenggut separuh nafasnya. Setiap detik dalam hidupnya, Veedan terjebak dalam perasaan rindu yang menyakitkan. Hal itu juga y...